Mohon tunggu...
Dony Ind
Dony Ind Mohon Tunggu... wiraswasta -

entah, \r\nentahlah siapa aku............\r\nyang kutahu isteriku senantiasa mengutukku, "God Verdomme Zich!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahaya Laten

14 Oktober 2016   22:05 Diperbarui: 15 Oktober 2016   07:58 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

1620-2016 Masehi. Setiap kali kutikam. Setiap saat kucincang. Tanpa kenal lelah kubunuh, selalu kubunuh. Namun keinginan itu selalu dan terus muncul. Seolah ia terus-menerus bereinkarnasi menjadi sesuatu yang sangat menggairahkan, menggoda. Ia bersifat laten.

Bahaya! Inilah bahaya laten yang sejati, bukan Komunisme. Bukan Leninisme. Bukan pula Marxisme.

Lereng kaki gunung.

Sendiri. Memagut sepi. Tak ada pernak-pernik simbol ke-aku-an, nyaman. Tanpa dikotomi kafir–non kafir, aman. Tentram, tak ada digitalisasi peradaban. Damai, tanpa alat tukar berupa uang. Kerna uang; ‘Harkat dan Martabat Manusia’ direduksi menjadi ‘Harga dan Manfaat Manusia’. Verdomme! Trembelane!

Nyaman. Aman.Tentram. Damai. Segarnya air gunung. Desis angin nan syahdu. Rancak rock ‘n roll kicau burung. Senandung bluesnocturno adalah satu kesatuan dari sisa hidupku nanti.

Hari ini. Esok dan esoknya lagi. Kemarin dan kemarinnya lagi. Lusa dan lusanya lagi kuhabiskan dengan “mencumbumu”MU dalam ranjang Sangkan Paraning Dumadi serta bercocok tanam alakadarnya. Dari halaman hingga di dalam bilik bambuku akan kau dapati berbagai macam tanaman obat. Ketika kau diserang penyakit hati maka kuseduhkan ramuan temulawak untukmu. Pada saat hidupmu berkelimpahan, kau akan diakrabi oleh asam urat dan kolesterol, untukmu kusediakan air daun salam, minumlah hingga tandas. Semoga kau sembuh.  Ah, sungguh indah nian sisa hidup ini tanpa dibelenggu oleh tetek bengek ke-aku-an, kecuali ke-Kau-an.


Sewaktu-waktu, kau dan siapapun, dalam sehat atau sakit bertandanglah di kediamanku. Suatu tempat yang asri lahir-batin tanpa banding. Meski tak seindah sorga sebagaimana yang diceritakan pada kitab agama-agama samawi, tapi percayalah....kau pasti akan betah berlama-lama singgah di kediamanku.

Disana pula aku akan mati tanpa jama’ah isak tangis. Tanpa gegap-gempita prosesi pemakaman yang dramatik. Tanpa aubade do’a-do’a yang dikemas dalam amplop yang indah. Biar saja jasadku membumi bersama jasad renik. Anggap saja aku tak pernah ada, tak lahir di dunia ini. Aku tak ingin dikenang oleh siapapun. “I Died As a Mineral”, begitu kata Rumi.

Asuedan!” katamu.

Katamu lagi, “Tak mungkin. Itu utopia!”

“Wahai Wong-Asu, dengarkanlah aku! Kau punya fitrah sebagai Homo HominiLupus. Kau punya segudang kewajiban. Kau punya seabrek tanggung-jawab. Kata Sang Nasib, kau adalah ular beludak. Kata Sang Nasib pula, kau tak lebih dari sus scorfa yang disunat. Jangan kau ingkar dari kasunyatan dan fitrahmu. Mainkan peran hipokrit kerna kau adalah aktor kehidupan terbaik. Membencilah! Menipulah! Liarkan syahwat dan amarahmu agar kau mampu survive& menggenggam gemah ripah luh jinawi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun