Mohon tunggu...
Dony Ind
Dony Ind Mohon Tunggu... wiraswasta -

entah, \r\nentahlah siapa aku............\r\nyang kutahu isteriku senantiasa mengutukku, "God Verdomme Zich!"

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tuhan itu (Maha) Keren

5 Desember 2014   05:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:00 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14177079871388067140

20 Juni 2014. 15.15 wib. Di Museum Masjid Agung nDemak terdapat Pintu Bledeg yang dibuat oleh Ki Ageng Selo. Pintu Bledeg terdiri dari kayu jati dengan ukiran mahkota, kepala naga dengan mulut menganga, serta motif kembangan. Pintu  ini dikenal dengan nama Condro Sengkolo yang bermakna Nogo Mulat Saliro Wani  yang menunjukkan tahun pembuatannya, yakni; tahun 1466 Masehi atau 887 H. Menurut legenda, kepala naga menggambarkan petir yang berhasil ditangkap oleh Ki Ageng Selo. Bahkan, ketika masa kecil (hingga kini) jika ada petir yang menyambar-nyambar aku selalu membatin bahwa saya adalah trah (keturunan) Ki Ageng Selo; dengan harapan setelah membatin kalimat tersebut tak akan hangus dilalap petir. Konyol memang.

Saat hanyut dalam keelokan Pintu Bledeg serta mengingat-ingat masa kecil tentang legenda Ki Ageng Selo, aku dikejutkan oleh seorang bocah usia belasan tahun berseragam pramuka. “Om, dari mana? Sendirian ya?”, ia menyapaku dari arah belakang. Kubalikkan tubuh dan nampak sosok yang membuat dahi berkerut menciut. Tangan kirinya diamputasi. Bagian pangkal leher hingga bawah kuping dan telapak kaki sampai (mungkin) lutut bertabur keloid. Ia mengenakan 2 bentuk cincin. Yang menarik adalah salah satu  cincinnya tanpa batu akik (menurut keterangan darinya bahwa batu warna mirah telah lama terjatuh dan raib). Ia seorang penjual alat hitung spiritual yang sehari-harinya mengasong di lingkungan komplek Masjid nDemak. Aris namanya.

Setelah aku berhasil menguasai kesadaran, rasa terkesima akibat Aris pun berlalu.
“Iya, sendiri. Kenapa?” jawabku.
Ndak apa-apa. Datangnya kapan, om?”
“Kemarin malam nyampek nDemak. Tapi saya langsung ke Kadilangu & baru kesini lagi pagi tadi kira-kira jam 10.00 lewat-lewat dikit”
“Ohh...” Aris pelan berdesis.

Sejurus kemudian Aris memandang lekat (lebih tepat jika dikatakan ia sedang mengamatiku) dari ujung kaki hingga topiku yang kucel.
“Sudah makan om?”
“Belum. Kenapa?”
Memang, sedari pagi setelah Shubuh di Masjid Kadilangu, perutku hanya diisi 2 iris tempe goreng & sebungkus kopi sachet. Hingga saat bertemu Aris belum ada karbohidrat yang masuk ke tubuh. Demi mendengar jawabanku, Aris mengeluarkan dompet warna hitam kumal dan mengambil beberapa lembar dua ribuan yang tentu saja lusuh.
“Ini om, buat makan om”
“Loh? Nggak usah!”
Ndak apa-apa. Bener om, ini buat om saja. Om kan belum makan. Nanti sakit,” Aris memaksa. Blaik! Aku knock out!

Saat kami berdua sedang asik ‘bersitegang’ tiba-tiba terdengar suara memanggil Aris yang datang dari seorang laki-laki paruh baya yang tak lain merupakan pengurus museum & makam sultan nDemak.
“Ris, kae lho ono sing golek tasbih”
Nggih...!” jawab Aris sambil berpamitan. Aris berlalu. Aku tertegun. Aku putuskan untuk keluar museum saat itu juga. Kucari tempat teduh. Kusulut sebatang kretek. Sejenak menenangkan diri dan mengatur keseimbangan. Aku goyah.

Kretek belum terbakar setengahnya. Aris muncul untuk kali kedua. Duduk disampingku. Kutawari ia kretek. Aris menggeleng, “Saya ndak ngrokok om.” Ia mengamatiku lagi. Kali ini Aris memperhatikan cincin batu akik yang aku pakai. Batu akik warna putih tulang dengan totol-totol hijau lumut. Kelak, sebelum beranjak menuju Semarang, batu tersebut aku hibahkan ke seorang musafir yang ada di Masjid nDemak.

“Batunya bagus om”
“Mau?”
Aris diam. Kulepas batu dari jejariku.
“Nih, pakek aja.” Kusodorkan cincin pada Aris. Dicobanya pada jari tengah tangan kanan. Ia amati dalam-dalam cincin yang telah tersemat di jejarinya.  Aris tersenyum sambil melihatku. Tampaknya ia senang.
“Wah bagus ya om?”
“Kalau senang pakai saja. Tuh batu buat kamu.”
“Aris menatapku tajam. Kemudian ia melepas cincin dan mengembalikannya.
Ndak om, makasih. Ndak boleh. Ini cincin milik om, bukan punya saya”
lha... ra popo. Ambil saja. Saya masih ada lagi kok.”
“Jangan om, ndak boleh”
“Nggak boleh sama siapa?”
“Sama Allah, om. Karena bukan hak saya.” Blaik! Aku knock out, lagi!

Hari itu, 20 Juni 2014 sebanyak dua kali aku yang abangan diberi ‘pelajaran’ oleh seorang bocah berseragam pramuka. Pelajaran yang pertama adalah; rasa welas asih dan ikhlasnya terhadap sesama yang (mungkin) melebihi malaikat. Meski Aris seorang bocah dengan kondisi fisik sedemikian rupa dan dalam himpitan ekonomi yang menderanya, ia masih rela berbagi welas asih terhadap sesama yang notabene manusia normal. Sungguh, rasa welas asih yang benar-benar tulus serta keikhlasan yang platonis. Sedangkan pelajaran kedua yang kudapatkan adalah kejujuran & kesahajaan yang dimilikinya sangatlah luar biasa. Dengan bahasa batin, tubuh dan lisan yang paling sederhana ia mengekspresikan kejujurannya. Kejujuran tanpa rekayasa. Kejujuran yang 100% murni.

Pada masa sekarang, apa yang ada pada diri seorang Aris merupakan sesuatu yang amat langka. Kalaulah semua manusia di bumi ini mempunyai ‘kelangkaan’ sebagaimana yang dimiliki Aris, niscaya; (1)DPR RI tentulah sudah tidak menjadi TK lagi, minimal mereka sekarang sudah duduk di bangku SD. (2)Tidak ada kerakusan yang menghinggapi para penguasa; penguasa politik, penguasa ekonomi, atau penguasa keduanya.
(3)Tidak ada lagi konflik berlatar agama (Ahmadiyah, Sunni-Syiah, Gereja Yasmin, Gereja Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia, Rohingnya, dll) bahkan konflik turun-temurun Bangsa Palestina dan Israel bisa diselesaikan dengan rasa welas asih dan tenggang rasa. Tak ada gontok-gontokan. Tak ada korupsi. Tak ada perang. Tak ada lagi pembantaian. Pun tak ada aksi segel-menyegel rumah ibadah.
(4)Tentunya masih banyak lagi contoh-contoh lain yang tak mungkin disebutkan satu demi satu, termasuk FPI. Khusus untuk sepak terjang preman-preman berjubah, saya sangat-sangat malas untuk membahasnya.

Mungkin seorang Aris bukanlah sekedar bocah deformatif yang menaruh rasa iba ketika ia melihatku. Bukanlah sesuatu yang kebetulan belaka jika ia (berniat) secara tulus memberiku uang untuk membeli makan. Mungkin saja seorang Aris bukan pula sekedar penjual tasbih yang tak mau menerima apapun yang bukan haknya. Bahkan bisa jadi ia seorang wali yang diutus secara khusus oleh Allah untuk ‘menjewer’ku (dan sudah barang tentu kepada siapapun yang memang layak diberi pelajaran). Entahlah siapa dia, aku tak tahu. Yang kutahu adalah, dalam sebuah atsar (perkataan para ulama) menyatakan bahwa, “yang mengetahui kedudukan seseorang wali adalah sesama wali itu sendiri.” Sedangkan aku cuma seorang Islam Statistik; seorang Muslim Abangan.

Tidaklah penting untuk menelisik eksistensi bocah tersebut lebih dalam lagi. Terpenting adalah mengamalkan kemuliaan yang telah dicontohkannya. Kemuliaan yang nyata. Kemuliaan yang tak sebatas text book atau salin tempel. Aris melakukan secara konkrit. Ia tanpa jubah, tak bersorban dan tak berkhotbah dengan bahasa tubuh dan lisan yang megah dan bombastis. Dengan cara sederhana ia memberiku pelajaran. Terimakasih Aris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun