Aku pernah menjadi dua hal dalam hidup ini:
sebagai anak dari keluarga yang hancur,
dan sebagai ibu dari rumah tangga yang akhirnya runtuh.
Aku tahu rasanya menjadi anak yang diam-diam iri
pada keluarga teman yang utuh dan bahagia.
Bukan karena aku tidak percaya takdir,
tapi karena aku pernah bertanya---
kenapa aku dilahirkan jika hanya untuk menjalani hidup seperti ini?
Lalu aku tumbuh, menikah,
dan akhirnya berpisah.
Barulah aku menemukan jawabannya.
"Tidak ada satu orang pun yang menikah untuk bercerai,
tapi menjaga pernikahan juga butuh jiwa yang waras,
dan hati yang mampu memaafkan tanpa henti.
Namun sekali lagi, kita hanya manusia biasa."
Aku Tak Ingin Menuntut, Tapi Ingin Dimengerti
Sebagai anak, aku sering mendengar kalimat seperti:
"Anak tidak tahu balas budi."
Tapi... benarkah kami harus membalas?
Apakah kami pernah meminta dilahirkan?
Jika kami harus membalas budi orangtua,
maka izinkan anak-anak juga menuntut lahir dari keluarga yang mapan,
penuh cinta, tanpa luka, tanpa kekurangan.
Jangan bebani kami dengan ekspektasi,
jangan wariskan kami luka yang kalian sembunyikan dalam nama cinta.
Nak,
Mama pun pernah berdiri di posisimu.
Melihat bagaimana rumah bisa berubah jadi sunyi,
dan cinta bisa pecah tanpa suara.
Mama tahu nenek dan kakekmu berpisah bukan karena ingin,
tapi karena mereka tidak lagi sanggup menoleransi dunia yang mereka bangun bersama.
Mama pun begitu.
Mama bertahan, meski hati mama hancur ribuan kali.
Mama jatuh bangun membangun yang sudah patah,
hingga perasaan ini benar-benar mati.
Pernah terbesit untuk mengakhiri segalanya...
tapi mama sadar,
hidup mama bukan hanya tentang mama---ada kalian di dalamnya.