Judul: "Aku Masih Ibu dari Anak Itu"
Dunia boleh membungkamku, tapi aku tetap ibu dari anak itu.
Aku ibu dari seorang anak perempuan yang istimewa. Dia anak keduaku. Ia tumbuh dengan tantangan yang besar---skizofrenia, keterbatasan intelektual, dan kini butuh pemeriksaan lanjutan ke bagian kepala. Kata dokter, ia harus dirujuk ke kota besar, karena di pulau tempat ia tinggal tidak ada fasilitas medis yang memadai.
Yang menyampaikan kabar itu bukan ayahnya. Bukan juga keluarganya. Tapi keponakan mantan suamiku. Sementara aku---ibunya---menunggu dengan sabar selama beberapa hari, berharap satu dari mereka akan memberitahuku kabar penting tentang anakku. Tapi tidak ada yang datang. Tidak satu pun. Seolah aku hanya bayangan yang tak layak diberi tahu.
Aku pernah menawarkan bantuan. Menyediakan waktu, uang, dan niat untuk membawa anakku berobat. Tapi semua itu ditolak. Aku dianggap bukan siapa-siapa, hanya karena aku memilih berpisah demi menyelamatkan diriku dari kehidupan yang penuh luka. Tapi mengapa ketika aku mencoba hadir untuk anakku, niat baikku ditolak? Apakah menjadi ibu hanya sah kalau aku tetap bertahan dalam pernikahan yang menyakitkan?
Jika aku dianggap buruk karena meninggalkan pernikahan itu, maka aku bertanya: ibu seperti apa yang dianggap baik?
Aku tak pernah menuntut nafkah anak-anak. Tak pernah menyuruh mereka meminta-minta pada ayahnya. Bahkan aku masih sering mengirim bantuan kepada anak-anak yang tinggal bersama ayahnya. Padahal aku bisa saja memilih untuk diam, pura-pura tidak tahu. Tapi aku memilih tidak menjadi pengecut. Aku tetap ingin menjadi bagian dari hidup anakku---meski hanya lewat kesempatan kecil.
Aku tahu, anakku akan tumbuh dewasa. Tapi ayah dan neneknya akan menua. Dan kelak, siapa yang akan membantu anakku? Siapa yang akan mengajarinya membaca jika hari ini mereka membiarkannya buta huruf? Siapa yang akan memandikannya saat mereka sendiri butuh dibantu?
Aku tak ingin menunggu semuanya terlambat. Tapi aku juga tak bisa pergi begitu saja ke pulau tempat anakku tinggal. Akses ke sana sulit. Tak ada kapal tiap hari. Tak ada penginapan. Tak ada tempat netral. Satu-satunya pilihan adalah rumah keluarga mantan suami---dan di sanalah aku paling tidak aman.
Mereka bisa memainkan banyak cara. Aku tahu itu. Maka aku tidak bisa sembarangan bergerak. Aku harus merencanakan semuanya dengan matang. Karena ini bukan sekadar tentang hak, ini tentang hidup anakku. Tentang masa depannya. Tentang keberadaanku sebagai seorang ibu yang tak pernah ingin menyerah.
Aku masih ibu dari anak itu. Biarpun tak tinggal bersamanya, biarpun namaku tak disebut-sebut lagi di rumah itu. Aku masih ibu dari anak itu. Dan aku akan tetap memperjuangkannya. Dengan cara yang baik, dengan hati yang teguh, dan dengan cinta yang tidak pernah surut---meski dunia ingin menyingkirkanku dari kisah hidup anakku sendiri.
Jika kamu membaca ini dan mengenal seseorang yang sedang memperjuangkan anaknya dari jauh---jangan hakimi mereka. Mungkin kamu tidak melihat air mata yang mereka tahan setiap malam. Mungkin kamu tidak tahu betapa kerasnya mereka berjuang hanya untuk bisa berkata: "Aku masih ibunya."