Aku tak tahu sejak kapan tepatnya rasa sakit itu mulai menetap. Mungkin sudah lama, tapi aku terlalu sibuk bertahan hingga tak sempat mengukur seberapa dalam luka itu menganga. Hidupku dulu mungkin terlihat baik di mata luar --- ada rumah, ada suami, ada anak-anak. Tapi jauh di dalam, aku merasa tak pernah benar-benar hidup. Hanya bernapas, hanya bergerak.
Suamiku adalah kepala rumah tangga yang lebih banyak mengandalkan ibunya daripada menanggung peran dan tanggung jawabnya. Keluarganya selalu lebih utama, dan aku...? Aku hanya istri di atas kertas. Di rumah, aku merasa seperti pelayan yang membersihkan, memasak, dan memuaskan, tapi tidak pernah benar-benar dilihat sebagai manusia yang juga punya kelelahan, mimpi, dan butuh pelukan.
Ada hari-hari di mana aku begitu ingin marah. Saat dia memilih menghabiskan waktu menonton orkestra musik hampir setiap hari, atau saat dia memilih mabuk bersama teman-temannya di rumah sementara aku kelelahan mengurus semuanya sendirian. Tapi aku diam --- bukan karena aku membenarkan tindakannya, melainkan karena aku lelah bertengkar. Terutama di depan anak-anak. Aku tahu tak ada yang akan membelaku. Bahkan suara tangisku pun terasa asing di rumah itu.
Sampai akhirnya, aku pergi.
Bukan karena aku kuat.
Bukan karena aku sudah siap.
Tapi karena aku merasa jika aku tidak segera keluar, aku akan hilang sebagai manusia.
Saat itu aku tidak punya rencana. Tidak tahu akan ke mana, bagaimana hidup besok, atau bagaimana aku akan membesarkan anak-anakku. Yang aku tahu, aku harus pergi dari tempat yang sudah tak lagi layak disebut rumah. Aku hanya membawa satu hal: harapan bahwa hidup bisa lebih dari sekadar bertahan.
Tapi luka itu tidak hilang begitu saja.
Jarak sudah tercipta. Aku dan suamiku tidak lagi bersama. Dua anakku ikut ayahnya, satu bersamaku. Dan sejak saat itu, sering kali aku dihantui rasa bersalah.
Bukan karena meninggalkannya --- aku tahu itu bukan salahku. Tapi karena takut... anak-anakku, terutama putri sulungku, merasa aku tidak adil. Ia tinggal bersamaku, sementara adik-adiknya tinggal bersama ayah mereka. Dan saat aku bicara tentang rindu kepada adik-adiknya, aku takut dia merasa seperti anak yang tak lagi istimewa. Padahal justru karena dialah aku bisa sejauh ini.
Putriku yang pertama, Chyntia, adalah cahaya pertama dalam masa tergelap hidupku. Dia adalah sahabat sunyiku, penguat langkahku ketika aku bahkan tak yakin bisa bertahan sehari lagi. Aku melihat dia tumbuh, bukan sebagai anak kecil yang manja, tapi sebagai jiwa kecil yang begitu kuat menyesuaikan diri dengan luka yang diwarisi dari kisah orang tuanya.
Dan di titik ini, aku ingin bicara padanya.
Bukan sebagai ibu yang sempurna --- karena aku jauh dari itu.
Tapi sebagai perempuan yang berjuang, dan tak ingin anaknya merasa tak dilihat.
Sayangku Chyntia,
Jika suatu hari kamu membaca ini, dan pernah merasa mama lebih memperhatikan adik-adikmu... tolong ketahuilah bahwa tidak ada satu pun hari berlalu tanpa mama bersyukur kamu tetap tinggal bersama mama. Kamu bukan sisa. Kamu bukan pilihan terakhir. Kamu adalah alasan pertama mama bisa kuat. Kamu adalah alasan kenapa mama tidak menyerah. Dan kamu adalah teman sejati mama saat mama bahkan tidak sanggup bicara pada dunia.
Maaf kalau mama telah kehilangan masa kecilmu.
Maaf kalau mama terlalu sibuk membangun ulang hidup, hingga tak sempat bermain dan tertawa bersamamu sebanyak yang seharusnya. Tapi ketahuilah, setiap langkah yang mama ambil, selalu membawa doa untuk kamu dan adik-adikmu.