Dalam praktiknya perlindungan konsumen di Indonesia masih ditemukan banyak permasalahan. Seperti contoh kasus pada tahun 2000 mengenai produk bumbu masak Ajinomoto yang diproduksi oleh PT. Ajinomoto terindikasi mengandung lemak babi, juga kasus yang sedang marak terjadi di masyarakat terkait adanya overclaim skincare, dimana komposisi yang diletakkan pada tabel komposisi tidaklah sesuai dengan hasil uji lab skincare tersebut. Faktor dari timbulnya permasalahan tersebut berkaitan dengan budaya, substansi hukum, dan aparatur birokrasi. Kendala lain berkaitan dengan rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya terhadap suatu produk, lemahnya standarisasi mutu barang, lemahnya produk perundang-undangan, serta persepsi dari pelaku usaha yang keliru dengan perlindungan konsumen akan menimbulkan kerugian.
Lahirnya UU Perlindungan Konsumen di Indonesia seperti yang dijelaskan dalam Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen memiliki tujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen dalam berbagai upaya, diantaranya yaitu, meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, serta kemandirian konsumen terutama dalam memilih dan menuntut haknya sebagai konsumen. Tujuan lainnya yaitu untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen dimana didalamnya mengandung unsur kepastian hukum serta keterbukaan informasi sekaligus menumbuhkan kesadaran dari pelaku usaha dalam memahami pentingnya perlindungan konsumen, sehingga dapat menumbuhkan sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha dengan menghasilkan barang dan/atau jasa berkualitas yang menjamin kelangsungan usaha, kenyamanan, keamanan, serta keselamatan konsumen. Hukum perlindungan konsumen saat ini mendapat cukup perhatian dikarenakan berkaitan dengan aturan guna mensejahterakan masyarakat. Tidak hanya masyarakat selaku konsumen yang perlu mendapatkan perlindungan, pelaku usaha pun memiliki hak untuk mendapat perlindungannya. Pemerintah memiliki andil besar dalam melindungi, mengatur, mengawasi, serta mengontrol demi terciptanya sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan lainnya sehingga tujuan dalam mensejahterakan masyarakat dapat tercapai.
Dalam hal mengembangkan upaya perlindungan konsumen, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen, maka dibentuk suatu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). BPKN diatur dalam Pasal 31 hingga Pasal 43 UU Perlindungan Konsumen dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. BPKN memiliki fungsi dalam memberikan saran serta pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Kedudukan BPKN sebagai lembaga yang dibentuk dalam upaya membantu pengembangan perlindungan konsumen, terkhusus dalam hal membantu konsumen yang dirugikan akibat terjadinya pelanggaran melalui mekanisme pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam praktiknya, BPKN melakukan upaya perlindungan konsumen dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang membantu menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Melalui UU Perlindungan Konsumen dibentuklah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Kehadiran LPKSM dalam suatu negara berperan penting dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen. Lembaga ini memiliki tujuan dalam pemberdayaan konsumen melalui pengawasan serta pembinaan konsumen untuk mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha yang berupaya untuk mendapat keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin sesuai dengan prinsip ekonomi. LPKSM sebagai arus bawah yang kuat dan tersosialisasi secara luas di masyarakat serta sekaligus secara representatif dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi dari konsumen.
Pada kenyataannya konsumen yang dirugikan seringkali tidak mengetahui bagaimana cara untuk memperjuangkan haknya saat terjadi sengketa konsumen, oleh sebab itu keberadaan LPKSM diharapkan dapat bekerja maksimal demi terciptanya upaya perlindungan konsumen. Dalam menjalankan tugas serta perannya dalam membantu konsumen memperjuangkan haknya, termasuk menerima, masukan, maupun keluhan konsumen. LPKSM diharapkan dapat berjalan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Sinergi antara Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sangat penting untuk mewujudkan konsumen cerdas di Indonesia. BPKN berperan sebagai lembaga pemerintah yang memberikan saran dan rekomendasi kebijakan, sementara LPKSM berperan sebagai organisasi non-pemerintah yang langsung berinteraksi dengan konsumen. Keduanya memiliki peran strategis dalam melindungi hak-hak konsumen dan meningkatkan kesadaran konsumen. Sinergi antara BPKN dan LPKSM merupakan kunci untuk mewujudkan smart consumer di Indonesia. BPKN sebagai lembaga pemerintah dan LPKSM sebagai lembaga non-pemerintah memiliki peran yang saling melengkapi dalam melindungi hak-hak konsumen dan meningkatkan kesadaran konsumen. Dengan kerja sama yang baik, konsumen Indonesia dapat menjadi lebih cerdas dan mampu berpartisipasi aktif dalam menciptakan pasar yang adil dan beretika.
Kesimpulan
Perwujudan Smart Consumer di Indonesia merupakan hal krusial yang memerlukan sinergi dari berbagai pihak. Smart Consumer bukan hanya tentang memiliki rasa kehati-hatian dalam berbelanja, tetapi juga tentang memiliki literasi yang memadai mengenai hak dan kewajiban sebagai konsumen. Literasi ini mencakup informasi serta pemahaman tentang risiko produk seperti overclaim dalam suatu produk maupun tidak sesuainya barang yang diperdagangkan, serta kemampuan untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam mencari informasi produk secara mandiri sebelum melakukan pembelian terhadap suatu produk.
Namun, literasi dalam hal ini tidak cukup untuk mengatasi adanya sengketa konsumen yang terjadi dalam masyarakat. Dibutuhkan suatu sistem perlindungan yang kuat untuk mendukung konsumen saat menghadapi sengketa. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berperan penting dalam hal ini. BPKN sebagai lembaga negara dan LPKSM sebagai organisasi masyarakat memiliki fungsi yang saling melengkapi satu sama lain. BPKN berfungsi untuk memberikan saran serta pertimbangan kebijakan, sementara LPKSM secara langsung membantu konsumen di lapangan dengan menerima aduan dari masyarakat mengenai adanya produk yang tidak sesuai. Sinergi antara kedua lembaga tersebut, ditambah dengan pemanfaatan sistem pengaduan yang efektif merupakan kunci untuk menciptakan perlindungan konsumen yang komprehensif.
Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan Smart Consumer harus dilakukan melalui dua pendekatan komponen utama yaitu, peningkatan literasi dalam perkembangan teknologi informasi dan lembaga perlindungan konsumen dalam penyelesaian sengketa konsumen. Peningkatan kapasitas literasi dalam perkembangan teknologi informasi mendorong konsumen untuk bertindak secara preventif, sedangkan lembaga perlindungan konsumen dengan sistem aduan yang kuat memberikan konsumen kepastian hukum dan jalur penyelesaian sengketa yang adil. Sinergi kedua unsur tersebut mendorong masyarakat Indonesia menjadi konsumen yang berdaya, mampu melindungi diri sendiri, dan turut serta menciptakan pasar yang lebih transparan dan bertanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI