Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bukti Kegagalan Kerjasama Pemerintah dan Swasta: Korupsi, Penyelewengan, dan Melemahnya Pemerintah

27 Mei 2022   18:46 Diperbarui: 27 Mei 2022   18:54 2199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"As more and more government functions get privatized, states become pay-to-play paradises, in which both political contributions and contracts for friends and relatives become a quid pro quo for getting government business... a corrupt nexus of privatization and patronage that is undermining government across much of our nation." 

-        Paul Krugman

Beberapa waktu lalu, lelang tender gorden DPR RI mendadak viral akibat kontroversi dalam pelaksanaannya. Selain karena anggarannya yang setinggi langit -- 48,7 milyar, terdapat kejanggalan dalam pelaksanaannya. Dari 49 peserta tender, hanya 3 perusahaan yang tersisa dan yang memenangkan tender tersebut adalah perusahaan yang menawarkan nilai lebih tinggi (Kompas, 2021).

Masyarakat Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah "pelelangan" atau "tender." Bagaimana tidak, 90 persen kasus korupsi di daerah adalah terkait pengadaan barang dan jasa (KPK, 2021). Bahkan salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia, yang merugikan Indonesia sebesar 2,3 triliun adalah hasil tender -- kasus pengadaan E-KTP.

Pertama, kita harus mengerti bahwa melalui tender, dimana sektor swasta dilibatkan ke dalam pekerjaan pemerintah, adalah untuk menjadikan sektor publik lebih efisien. Hal ini sesuai teori ekonomi yang akan dijelaskan di dalam artikel ini. Namun, mengapa hasilnya tidak sesuai? Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah hal ini hanya terjadi di Indonesia?


Tulisan ini bertujuan untuk membongkar "mitos" mengenai keefektifan kolaborasi antara pemerintah dan swasta. 

KPS: Sebuah Sejarah Singkat

Kerjasama antara pemerintah dan swasta bukanlah hal yang baru. Istilah "Public-Private Partnership" atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) dipopulerkan sekitar tahun 1970, disaat ide-ide Keynesian mulai digeser oleh ide Neoliberalisme dan peran pemerintah mulai dipertanyakan (saat itu kondisi ekonomi sedang buruk). Alih-alih menganggap kinerja ekonomi yang buruk sebagai kegagalan pasar, kegagalan atau inefisiensi pemerintah dijadikan kambing hitam (Gomes, 1990). Ide-ide baru, seperti New Public Management (NPM), menjadi mode baru.

Dalam konteks ini, KPS digunakan sebagai alternatif dari layanan publik yang birokratis dan perusahaan milik negara yang tidak efisien (Cavelty dan Sute, 2009). Menyerahkan tugas publik kepada aktor swasta, (memprivatisasikan, mengontrakkannya, atau melaksanakannya dalam kemitraan dengan swasta) dianggap sebagai cara utama untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan penyediaan layanan publik.

Secara teori, outsourcing dan privatisasi akan memperbaiki masalah principal-agent dalam hubungan antara pemerintah dan warga negara, menghemat uang dan meningkatkan layanan. Praktiknya ternyata sangat berbeda (Mazzucato, 2020).

Pada masa itu teori ini sangatlah terkenal, terutama di Inggris pada masa pemerintahan konservatif pertama Perdana Menteri Margaret Thatcher pada tahun 1979 hingga 2000-an di bawah Partai New Labour. Prakteknya mengambil tiga bentuk: privatisasi, usaha publik-swasta dan outsourcing layanan publik. Antara tahun 1980 dan 1996, Inggris menyumbang 40 persen dari total nilai semua aset yang diprivatisasi di seluruh OECD. 

New Public Management secara alami berargumen untuk pemerintah yang lebih kecil dan manajemen konvensional dari keuangan publik, termasuk anggaran berimbang. Pemerintah tidak boleh membelanjakan lebih dari pendapatannya selama periode anggaran tertentu, menghindari pinjaman yang meningkatkan utang nasional dan sebaiknya mengurangi utang nasional.

Ini adalah ideologi yang mendasari Thatcherisme, jika tidak selalu praktiknya. Setelah delapan belas tahun tidak menjabat, New Labour tidak ingin mengancam kesehatan fiskal dan dituduh tidak bertanggung jawab secara finansial. Alih-alih meminjam dengan harga murah, Partai New Labour mengadopsi KPS untuk perusahaan swasta membiayai usaha peningkatan infrastruktur, dimana akan dibayarkan kembali oleh pemerintah di tahun-tahun mendatang.

Seiring waktu, konsep KPS diperluas untuk mencakup proyek teknologi bersama, kemitraan di bidang pendidikan, dan juga layanan kesehatan. Konsep KPS telah menjadi konsep yang sangat heterogen, dan kini telah berkembang menjadi label yang mencakup semua kemungkinan bentuk kolaborasi baru antara pemerintah dan sektor swasta.

 

Penyebab dan Berbagai Kasus Kegagalan KPS 

Dari sudut pandang kebijakan publik, tujuan utama KPS adalah untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Pada saat yang sama, KPS juga akan membawa sumber daya swasta ke dalam layanan publik dan mengurangi tekanan jangka panjang pada keuangan pemerintah. Namun, tujuan ini tidak selalu terwujud karena kinerja serta kelayakan KPS bervariasi di berbagai industri.

Permasalahan pertama adalah mengenai biaya. Biaya proyek perlu dinilai selama masa pakainya, dengan mempertimbangkan keseluruhan biaya yang terkait dengan pembiayaan, konstruksi, dan transaksi yang terkait dengan tender, negosiasi, dan pemantauan proyek. Dalam hal ini, bukti yang diberikan oleh berbagai peneliti akademis dan organisasi internasional menunjukkan bahwa KPS seringkali lebih mahal ketimbang saat dilaksanakan pemerintah sendiri.

Biaya pinjaman sektor swasta sering cenderung lebih tinggi daripada sektor publik. Hal ini diilustrasikan dalam studi oleh Romero (2015) dan Hall (2015) yang mengutip data tahun 2015 oleh Kantor Audit Nasional Inggris (NAO). Tingkat bunga efektif dari semua kesepakatan keuangan swasta berkisar antara 7-8 persen, dua kali lipat dari semua pinjaman pemerintah, yakni 3-4 persen. Hal ini menyiratkan beban yang jauh lebih besar pada dompet publik ketimbang jika pemerintah meminjam dari bank swasta atau menerbitkan obligasi secara langsung.

Pada saat yang sama, KPS juga sangat sulit untuk ditenderkan dan dinegosiasikan. Hal ini terlihat dari fakta bahwa KPS yang dinegosiasikan ulang, sering kali menimbulkan biaya transaksi yang lebih tinggi. Menurut Hall (2015), biaya transaksi tender dan pemantauan KPS menambah 10-20 persen dari biaya mereka, sedangkan biaya konstruksi lebih tinggi di bawah KPS karena pemodal memerlukan kontrak yang sudah siap, yaitu sekitar 25 persen lebih tinggi (Platz et al., 2016).

Lebih lagi, biaya ini harus ditambahkan potensi risiko atau kewajiban fiskal cadangan yang berkaitan dengan KPS. Contohnya terlihat pada berbagai potensi risiko yang timbul dalam proyek infrastruktur, seperti risiko konstruksi, risiko keuangan, risiko ketersediaan, risiko permintaan, dan risiko lainnya. 

Biaya-biaya yang tak terlihat ini merupakan sebuah ancaman terhadap kesehatan fiskal. Menurut Romero (2015), pengalaman historis beberapa negara di negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa KPS dapat menimbulkan risiko keuangan yang besar bagi pemerintah.

Mengingat kekhawatiran mengenai biaya asli KPS, penting agar hal ini diimbangi dengan peningkatan kualitas penyediaan layanan dan efisiensi. Memang, alasan utama untuk mengadakan perjanjian KPS adalah kemungkinan peningkatan dalam pemberian layanan dan efisiensi oleh mitra swasta dibandingkan dengan apa yang dapat ditawarkan oleh pengadaan tradisional. Namun bukti menunjukkan bahwa peningkatan layanan ini tidak selalu terwujud.

Studi oleh Romero (2015), berpendapat bahwa bukti peningkatan efisiensi tidak meyakinkan. Dalam kebanyakan kasus, peningkatan efisiensi bergantung pada sektor, jenis dan ukuran proyek, kesepakatan kontrak antara mitra publik dan swasta, dan konteks negara dalam hal lingkungan peraturan dan tata kelola.

Sifat bukti yang tidak meyakinkan tentang efektivitas KPS didukung oleh penelitian Bank Dunia (Gassner et al., 2009) tentang partisipasi swasta dalam listrik dan air di negara berkembang yang menunjukkan peningkatan keuntungan efisiensi, namun juga dibarengi kekurangan investasi oleh sektor swasta dan kegagalan untuk menurunkan harga bagi konsumen.

 

Kasus di Indonesia

Sama seperti di negara-negara lain, kolaborasi antara pemerintah dan pihak swasta juga diselimuti berbagai masalah, terutama korupsi. Berdasarkan data KPK, pengadaan barang dan jasa menempati peringkat kedua kasus korupsi terbanyak. Kerugian negara mencapai Rp 5,3 triliun pada 2020 akibat hal ini.

Besarnya anggaran pemerintah untuk pengadaan barang dan jasa terbilang cukup menggiurkan. Pada tahun 2021, pemerintah mengalokasikan Rp 1.214,1 triliun atau 52,1% dari APBN untuk pengadaan. Modus yang dilakukan adalah dengan menggelembungkan harga-harga hingga 15%. Selain dari kecacatan moral, hal ini sungguh membahayakan kapasitas fiskal.

Korupsi pengadaan juga menghambat pemenuhan pelayanan publik. Lebih jauh lagi, korupsi pengadaan dapat berujung pada kecelakaan yang mempertaruhkan nyawa seseorang, seperti dalam sebuah kasus sekolah yang runtuh karena konstruksi yang buruk atau jalan yang rusak. Salah satu contoh kasus ini adalah video yang viral saat Ganjar Pranowo menyidik sekolah yang merupakan hasil KPS dan menemukan bahwa kualitas bangunan sekolah tersebut sangatlah buruk.

 

Akhir Kata

Terlepas dari semua masalah tersebut, ada banyak proyek KPS yang juga terbilang berhasil. Penelitian oleh Platz et al. (2016) menunjukkan bahwa KPS seringkali lebih cocok untuk infrastruktur ekonomi seperti transportasi dan energi, di mana permintaan cukup stabil dan pengaruhnya terhadap kualitas layanan mudah diukur, dan di mana infrastruktur berkualitas lebih baik dapat memangkas biaya operasional. Namun, di sektor sosial, seperti rumah sakit dan sekolah, di mana akses dan kesetaraan menjadi perhatian yang signifikan, KPS cenderung tidak efisien.

Akan tetapi, salah satu potensi masalah terbesar dari KPS adalah melemahnya pemerintah. Semakin banyak penyedia swasta yang melakukan kegiatan publik, semakin berkurang akuntabilitas pemerintah karena kemampuannya yang telah berkurang. 

Risiko tidak diambil, dan imbalan tidak dipetik. Semakin sedikit yang dilakukan pemerintah, semakin sedikit risiko yang diambil maka, semakin sedikit pemerintah berkembang dan semakin membosankan untuk bekerja bagi pemerintah. Pada saat yang sama, semakin menarik bekerja untuk penyedia, semakin banyak bakat yang tersedot dari pemerintah.

Pemerintah harus bisa memimpin, berinovasi, dan aktif. KPS hanya dapat berhasil jika sebuah pemerintahan memiliki institusi yang baik. Pemerintah yang dapat menggerakan masyarakat melalui institusi yang baik adalah kuncinya.

 

Adrien Wida Devachandra | Ilmu Ekonomi 2020 | Kepala Divisi Kajian KANOPI FEB UI 2022/2023

 

Referensi

Dunn-Cavelty, M., & Suter, M. (2009). Public--private partnerships are no silver bullet: An expanded governance model for Critical Infrastructure Protection. International Journal of Critical Infrastructure Protection, 2(4), 179--187. https://doi.org/10.1016/j.ijcip.2009.08.006 

Gassner, K., Popov, A., & Pushak, N. (2008). Does private sector participation improve performance in electricity and water distribution? https://doi.org/10.1596/978-0-8213-7715-4 

ICW. (2022). Korupsi Dalam pengadaan Barang Dan Jasa . Indonesia Corruption Watch. Retrieved May 26, 2022, from https://antikorupsi.org/id/article/korupsi-dalam-pengadaan-barang-dan-jasa 

Krugman, P. (2012, June 25). Privatization can lead to abuse and corruption. The Columbus Dispatch. Retrieved May 27, 2022, from https://www.dispatch.com/story/opinion/cartoons/2012/06/25/privatization-can-lead-to-abuse/23595503007/ 

Mazzucato, M. (2022). Mission economy. Penguin. 

Meiliana, D. (2022, May 9). Lelang Gorden Rumah Dinas DPR Dinilai janggal, PSI: Logikanya Tender Itu Cari yang termurah halaman all. KOMPAS.com. Retrieved May 27, 2022, from https://nasional.kompas.com/read/2022/05/09/13343731/lelang-gorden-rumah-dinas-dpr-dinilai-janggal-psi-logikanya-tender-itu-cari?page=all 

Nuralam, C. (2021, September 17). KPK: 90% Kasus Korupsi di Daerah Terkait Barang Dan Jasa. Media Indonesia. Retrieved May 27, 2022, from https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/433333/kpk-90-kasus-korupsi-di-daerah-terkait-barang-dan-jasa 

Platz, D., KS, J., Chowdhury, A., & Sharma, K. (2016). Public-private partnerships and the 2030 Agenda for Sustainable Development. UN Department of Economic and Social Affairs (DESA) Working Papers. https://doi.org/10.18356/f42bd4bb-en 

Trebilcock, M., & Rosenstock, M. (2015). Infrastructure public--private partnerships in the developing world: Lessons from recent experience. The Journal of Development Studies, 51(4), 335--354. https://doi.org/10.1080/00220388.2014.959935 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun