Seolah memancing amarah UEFA, Liga Super menerbitkan rilis pers pertamanya sehari sebelum pembahasan mengenai teknis Liga Champions di masa mendatang.
Begitu diumumkan, liga ini langsung memperoleh kritik dan kecaman dari berbagai pihak, mulai dari UEFA dan FIFA, liga resmi di masing-masing negara, hingga Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Jika kita amati lebih lanjut, sebenarnya terdapat dinamika antara "si kaya" dan "si miskin" yang menarik dalam perkembangan Liga Super. Dalam kasus ini, "si kaya" merupakan klub-klub besar dan kepentingan-kepentingan bisnis di dunia sepak bola, sementara "si miskin" adalah klub-klub kecil dan para penggemar sepak bola yang relatif tidak memiliki kekuasaan.
Melalui Liga Super, si kaya berpandangan bahwa liga yang menguntungkan mereka ini membawa dampak positif bagi semua orang, termasuk si miskin.
Namun, apakah sesungguhnya liga ini dapat memajukan dunia sepak bola seperti yang dijanjikan? Mari kita berpaling pada ilmu ekonomi untuk memperoleh jawabannya.
Trickle-Down Economics: Sebuah Teori yang Fana
Tak jauh berbeda dari Liga Super, trickle-down economics adalah suatu konsep yang mencakup dinamika antara si kaya dan si miskin. Konsep ini menyatakan bahwa pemotongan pajak dan pemberian bantuan bagi si kaya akan "mengucurkan" dampak positif bagi semua orang (Investopedia, 2021). Berbeda dengan ekonomi Keynesian yang berfokus pada sisi permintaan, trickle-down economics lebih akrab dengan sisi penawaran dari perekonomian. Penganut teori ini percaya bahwa penurunan pajak bagi si kaya akan menstimulasi aktivitas bisnis dan investasi sehingga menimbulkan multiplier effect bagi perekonomian.
Sekilas, argumen tersebut mungkin terdengar sulit untuk dipercaya. Namun, trickle-down economics tetap mampu memperoleh pengikut, salah satunya Partai Republik di Amerika Serikat. Trickle-down economics menjadi salah satu prinsip kunci dari kebijakan Presiden AS Ronald Reagan pada tahun 1980-an yang dikenal dengan istilah "Reaganomics". Bahkan, trickle-down economics masih terasa dalam kebijakan Partai Republik pada abad ke-21. Beberapa contohnya adalah pemotongan pajak yang dilakukan di bawah administrasi George W. Bush pada 2001 dan 2003, serta Tax Cuts and Jobs Act di masa Donald Trump pada 2017.
Trickle-down economics sudah lama menjadi bahan perdebatan dan memperoleh banyak kritik di kalangan ekonom. Teori tersebut dianggap sebagai "ide zombie" yang tidak terbukti kebenarannya, namun tetap dibicarakan dalam diskursus kebijakan publik (Peters dan Nagel, 2020). Sebuah paper oleh IMF (2015) menunjukkan bahwa jika 20% orang terkaya mengalami kenaikan income share, maka pertumbuhan ekonomi justru akan mengalami penurunan. Hal ini dapat dikaitkan dengan relatif lebih rendahnya marginal propensity to consume dari masyarakat kaya (Carroll et al., 2017), sehingga pendapatan yang mereka peroleh akan lebih cenderung untuk ditimbun dan tidak memberikan multiplier effect bagi perekonomian.
Menilik Liga Super secara Retrospektif