Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kapitalisasi Data: Haruskah Korporasi Raksasa Membalas Budi?

11 Desember 2020   17:48 Diperbarui: 12 Desember 2020   17:49 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Facebook memberikan data sensitif sebagai imbalan pembelian iklan di Facebook, yang menjadi 99% sumber pemasukannya. Amazon, korporasi dunia yang baru saja mencapai aset sebesar $1 triliun tidak menjadi pengecualian dari tindakan yang dicap tidak etis itu. 

Namun, terlepas dari segala keuntungan yang didapatkan dari data konsumen, Facebook dan Amazon tidak pernah memberikan imbalan kepada konsumen atas kapital berharga ini.

Tentu, keuntungan masing-masing korporasi dari data konsumen tidak bisa disamakan. Beberapa korporasi terkenal ditopang oleh data konsumen melalui jasa periklanan yang mereka tawarkan, seperti Google, Facebook, Instagram, Youtube, dan Twitter. 

Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada pun tidak luput dari daftar korporasi yang merasakan manfaat signifikan dari data konsumen. Berbekal data, beberapa korporasi bahkan mampu menangkap surplus konsumen yang lebih besar dengan melakukan diskriminasi harga. 

Contoh diskriminasi harga terlihat pada situs penjualan tiket pesawat. Dalam menerapkan kebijakan universal basic dividend, hal-hal seperti ini perlu dipertimbangkan.

Lantas, mengapa Varoufakis memperjuangkan  konsep pendapatan dasar melalui UBD sebagai imbalan korporasi? Padahal, konsep pendapatan dasar "konvensional" (UBI) baru menjalani uji coba di Kanada, Finlandia, dan Skotlandia pada 2017. Bahkan, implementasi UBI mengalami kegagalan di Iran dan Mongolia. 

Kebijakan Bercela

Konsep universal basic income bukan gading yang tak retak. Terdapat paling tidak tiga keluhan atas UBI. Pertama, kebijakan ini berpotensi memicu kemalasan dan keserampahan dalam konsumsi. Kedua, masyarakat kelas atas tidak perlu mendapatkan pendapatan dasar karena pendapatan mereka sudah cukup. 

Ketiga, pelaksanaan pendapatan dasar universal berpotensi besar untuk terhambat karena isu pendanaan. Bareksa mengestimasikan pengeluaran negara untuk UBI akan menelan Rp669,84 triliun tiap tahunnya, yakni hampir 33% dari APBNP 2017.

Mengalokasi dana yang seharusnya dapat digunakan untuk kesehatan, pendidikan dan pembangunan demi pendapatan dasar dianggap sebagai keputusan yang tidak bijaksana bagi banyak orang. Dengan segala kekurangannya, apakah pengorbanan untuk menerapkan UBI sepadan dengan hasilnya?

Merampungkan Kekhawatiran atas Pendapatan Dasar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun