Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Big Data, Instrumen Kebangkitan "Planned Economy"

26 Juli 2019   19:50 Diperbarui: 28 Juli 2019   15:05 3176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh KAJI POST - Kanopi UI

" .... and the planned economy will become increasingly big. " - Jack Ma

Pernah melihat sebuah sponsored post di Instagram dan tertarik untuk membeli produknya? Pernah mendapat tawaran cashback apabila kita foto nota belanja kita? Pernah melakukan pencarian di Google tentang suatu produk dan mendapatkan iklan untuk barang yang sejenis tak lama setelahnya?

Mungkin tanpa kita sadari, segala hal yang kita lakukan di internet dicatat dan direkam dengan baik oleh platform yang kita gunakan. Instagram tentu memiliki rekam jejak akun perbelanjaan yang sering kita kunjungi dan kita beli produknya, sehingga mereka memasarkannya lagi kepada kita. 

Aplikasi-aplikasi yang menawarkan cashback dengan foto nota belanja akan  membangun database mengenai konsumsi masyarakat dan menjual data tersebut ke produsen. Google menggunakan search history kita untuk mendapatkan pendapatan iklan dari berbagai produsen yang ingin iklannya tersampaikan pada segmen pasar yang sesuai.

Tiga contoh di atas menunjukan bagaimana rekaman pola stalking, searching, dan shopping kita dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi. Kasarnya, akumulasi data di atas yang berasal dari 4,388 miliar pengguna internet di seluruh dunia merupakan aplikasi dari big data untuk kegiatan ekonomi sehari-hari kita. 

Big data yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menyusun berbagai algoritme ini dapat membantu menjawab permasalahan mendasar ekonomi modern, yaitu: "Apa dan berapa banyak barang yang harus diproduksi?". Kegagalan menjawab permasalahan yang sama pernah membuat negara adidaya sebesar Uni Soviet runtuh.

Semenjak runtuhnya negara tersebut, mekanisme pasar diagung-agungkan sebagai sistem terbaik untuk perekonomian dunia. Bahkan, 15 tahun sebelum runtuhnya negara adidaya komunis tersebut, Republik Rakyat Tiongkok mulai membuka dirinya pada perekonomian pasar. 

Sekarang ini, sistem planned economy murni ala Soviet sudah jauh ditinggalkan. Namun, mungkinkah kita melihat kebangkitannya dalam beberapa tahun mendatang?

Sebuah Kebangkitan Tak Terelakkan?

Pada dasarnya, ilmu ekonomi memiliki 2 kutub dalam menjawab permasalahan tersebut. Kutub yang pertama adalah market economy, yang berpendapat bahwa keputusan mengenai produksi ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran yang ada di pasar. Kutub lain yaitu planned economy di mana penentuan produksi dan alokasi sumberdaya-nya direncanakan oleh pemerintah dan timnya.

Mungkin Anda berpikir, untuk apa ada orang yang berpikir untuk menghidupkan kembali sebuah sistem yang telah terbukti gagal? Nyatanya, 'pernah gagal'-nya suatu praktik dari suatu gagasan bukan berarti gagasan tersebut buruk sama sekali karena pertama-tama kita perlu menganalisis penyebab kegagalannya. Salah satu penyebab kegagalan socialist planning adalah partial ignorance [Ellman, 1978]. 

Partial ignorance ini disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi akurat tentang bagaimana keadaan perekonomian yang sesungguhnya. Informasi paling akurat berada di tangan mereka yang berada di lapangan. Sementara, para pembuat kebijakan di pusat pada akhirnya akan cenderung mendapatkan informasi yang kurang akurat. Hal ini disebabkan oleh distorsi informasi seiring informasi tersebut 'berpindah-tangan' ke petinggi-petinggi negara tersebut.

Ada sebuah kebiasaan dalam jenjang birokrasi untuk melaporkan pada atasan mengenai kesuksesan dan membuang informasi mengenai kegagalan-kegagalan yang terjadi. Ignorance semacam ini yang mampu menyebabkan kegagalan dalam pengambilan keputusan yang akurat di tingkat pusat. 

Keberadaan internet diprediksi mampu menjawab masalah ini. Internet telah melahirkan big data yang mampu menghadirkan data dan preferensi konsumen secara mendetail untuk menjawab 'barang apa dan berapa banyak yang dibutuhkan masyarakat'. 

Hal ini lah yang membuat marketplace besar di dunia ini, seperti Amazon, mencapai kesuksesan dan melahirkan salah satu fondasi sosialisme (planned economy) di jantung kapitalisme. Lebih dari sekadar pemahaman akan apa yang dibutuhkan dan yang menjadi preferensi konsumennya, Amazon juga menggunakan data yang dikumpulkan untuk masalah supply-chain management.

Salah satu yang menjadi kekuatan Amazon adalah kemampuan hebat perusahaan tersebut dalam merencanakan (planning) pendistribusian barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Kemampuan Amazon sangat hebat, bahkan beberapa kali disebut 'psychic'. Amazon sudah tahu apa yang Anda ingin beli sebelum Anda membelinya dan ketika Anda memesan, barang tersebut bisa jadi sudah dalam perjalanan ke tempat Anda. Kemampuan Amazon ini disebut "Anticipatory Shipping"  [Phillips et al. 2019].

Jutaan gigabyte data yang dimiliki Amazon digunakan untuk membangun algoritme yang bisa mengetahui barang apa yang diinginkan konsumen serta bagaimana mengirimkan barang tersebut dari suatu tempat ke tempat konsumennya. 

Dalam mengantarkan paketnya ke konsumen, Amazon bukannya tidak memiliki tantangan. Mereka harus tahu keberadaan produk, kecepatan pesawat yang mengantar, berapa jumlah truk pengiriman yang ada, ditambah dengan kejadian-kejadian random seperti cuaca buruk.

Menggunakan big data yang dimiliki, Amazon mampu menyusun algoritme untuk mengatasi permasalahan tersebut menggunakan matematika. 

Mengatasi permasalahan tersebut sama seperti menangani masalah yang dikenal di dalam matematika sebagai 'optimization'. Dengan diberikan constraint yang ada (variabel-variabel seperti kecepatan pesawat, dll), mereka harus mampu mengirimkan barang tersebut seoptimal mungkin (dengan biaya paling rendah).

Keberadaan big data telah terbukti membantu Amazon dalam melakukan economic planning. Memang, planning yang dilakukan Amazon tidak bisa memberikan perencanaan yang 100 persen akurat tentang perekonomian. 

Namun, seiring berkembangnya teknologi dan kemampuan komputer, hal ini dapat memberikan presisi yang lebih tinggi tentang perekonomian dan dapat merestorasi economic planning yang dahulu dicoba di era negara-negara komunis Tapi, apakah benar semudah itu?

Tidak Semudah Itu

Perdebatan klasik mengenai planned economy pada abad ke-20 pernah terangkum dalam Socialist Calculation Debate. Kaum Sosialis dan Libertarian pada era tersebut berdebat mengenai kemungkinan kaum sosialis untuk memiliki kalkulasi mengenai perekonomian di tengah ketiadaan harga (hukum permintaan dan penawaran), modal, dan kepemilikan swasta atas alat-alat produksi. 

Kaum Libertarian berpendapat bahwa ketiadaan harga yang terjadi atas mekanisme pasar (permintaan dan penawaran) membuat seorang pengambil kebijakan mengalami kesulitan dalam menentukan sebuah alternatif yang paling efisien. 

Dalam mekanisme pasar, seseorang akan melakukan cost-benefit analysis dari setiap alternatif yang ia miliki. Misal, ketika sebuah negara memutuskan akan membangun sebuah pembangkit listrik, dari mana para pengambil kebijakan akan tahu jenis pembangkit listrik yang paling efisien untuk dibangun jika tidak ada harga? Atau bagaimana cara terbaik bagi negara tersebut untuk mengkalkulasi 'harga'? Kubu ini percaya bahwa kalkulasi yang dilakukan tanpa dasar pasar tidak akan pernah mencapai suatu perekonomian yang efisien [Mises. 1949].

Selain mengungkapkan opini tersebut, kubu Libertarian juga membumikan frasa the knowledge problem. Friedrich Hayek mengungkapkan bahwa pengetahuan mengenai kondisi perekonomian pada saat dan di tempat tertentu tidak mungkin tersentralisasi di tangan seseorang ataupun suatu instansi, melainkan terdesentralisasi di berbagai pihak. Desentralisasi ini akan tergambar dalam bentuk harga [Hayek. 1945]. 

Misalnya, ketika harga minyak dunia meningkat, konsumen hanya mengetahui bahwa mungkin ia perlu mengurangi konsumsinya atas minyak. Sementara produsen juga hanya perlu tahu bagaimana cara kembali meningkatkan produksi. Namun, semua itu tercermin dalam mekanisme kenaikan harga yang tidak dimiliki oleh sistem planned economy. 

Menurutnya, keberadaan sistem harga ini membuat tidak diperlukannya campur tangan manusia dalam merencanakan perekonomian karena perencanaan yang dibuat tidak akan pernah efisien.

Kemampuan big data untuk menangani masalah knowledge problem yang dibawakan oleh Friedrich Hayek juga diragukan oleh beberapa pihak. Information isn't knowledge: Big data hanya merupakan kumpulan informasi yang berasal dari data-data perekonomian pasar dan tidak mungkin ada tanpa pasar. Seorang pengambil kebijakan tidak akan sepenuhnya bisa membuat perencanaan untuk masa depan hanya bergantung pada data historis keadaan pasar di masa sebelumnya. Pasar harus terus ada.

Mungkinkah?

Lantas, bagaimana kita bisa melihat kebangkitan kembali planned economy mengingat keberadaan big data? Binbin Wang, seorang ekonom Tiongkok, dalam paper-nya yang termasuk di dalam World Review of Political Economy tahun 2017 berusaha menawarkan alternatif yang dinamakan: 'Plan-Oriented Market Economy System'. 

Sistem yang digagas ini adalah sebuah platform ekonomi yang didasarkan atas big data dan didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara. Sang pencetus mengklaim sistem ini akan bisa "membuat pasar mengambil keputusan penting dalam alokasi sumber daya dan negara sebagai pemimpin perekonomian."

Dalam konsep ini, beberapa perusahaan internet milik negara akan mengambil peran sangat krusial. Perusahaan-perusahaan ini akan beroperasi secara independen namun memiliki hubungan dekat satu sama lain dalam hal integrasi big data. Mereka juga akan menggantikan peran dari Central Planning Agency yang biasanya menjadi badan yang bertanggung jawab untuk melakukan perencanaan ekonomi. 

Mekanisme beroperasinya-pun akan dibagi menjadi dua. Pertama, melalui mekanisme democratic planning, supplier akan menjual barang dengan metode 'pre-sale' dan konsumen akan melakukan pemesanan yang diinginkan. 

Kemudian, supplier akan memproduksi sesuai dengan pesanan konsumen. Kedua, dalam mekanisme central planning, integrasi big data memungkinkan penawaran agregat akan ditentukan oleh permintaan agregat dari seluruh perekonomian yang ada.

Terlepas dari kemungkinan diadopsinya sistem tersebut menjadi sistem perekonomian suatu negara, munculnya gagasan yang dimiliki oleh Ekonom Tiongkok tersebut cukup menarik dan mampu membawa berbagai insight baru terhadap perekonomian yang kita miliki sekarang. I

de memberikan gambaran praktis bagaimana cara mengintegrasikan big data ke dalam perekonomian yang mungkin membangkitkan kembali planned economy yang sudah pernah ditinggalkan banyak negara. 

Terlepas dari segala perdebatan yang ada, apabila planned economy dengan big data-nya bisa membawa kita menjadi makhluk yang lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya kita yang langka, mengapa tidak?

Kevin Bagas Ksatria | Ilmu Ekonomi 2018 | Staff Kajian Kanopi FEB UI 2019

Referensi:

  • Ellman, Michael. (1978). The Fundamental Problem of Socialist Planning. Oxford Economic Papers, New Series, Vol. 30, No. 2 (Jul., 1978), pp. 249-262
  • Mises, Ludwig von. (1949). Human Action: A Treatise on Economics. Irvington-on-Hudson, NY: The Foundation for Economic Education.
  • Hayek, Friedrich. (1945). The Use of Knowledge in Society. American Economic Review. XXXV, No. 4. pp. 519-30. American Economic Association.
  • Binbin, Wang & Li, Xiaoyan. (2017). Big Data, Platform Economy and Market Competition: A Preliminary Construction of Plan-Oriented Market Economy System in the Information Era. World Review of Political Economy. 8. 138. 10.13169/worlrevipoliecon.8.2.0138.
  • Phillips, Leigh & Rozworski, Michal. (2019). People's Republic of Walmart: How The World's Biggest  Corporations Are Laying The Foundations Of Socialism. Verso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun