Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cuti Ayah: Libur untuk Ayah, Bonus untuk Ibu?

21 September 2017   19:40 Diperbarui: 20 April 2018   12:34 4899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Dokumentasi pribadi

Tepat satu bulan lagi, kota Jakarta akan memiliki pemimpin baru dengan beragam kebijakannya. Namun di balik panasnya perbincangan mengenai rumah DP 0 rupiah dan Kartu Jakarta Pintar Plus, terdapat satu usulan kebijakan dari pasangan terpilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang hampir tidak pernah dibahas rakyat. Kebijakan tersebut yaitu program cuti ayah selama satu bulan. 

Pada suatu live chat saat dulu berkampanye, Anies Baswedan memperkenalkan program tersebut sebagai bagian dari janji kerjanya untuk "memuliakan perempuan dan keluarga". Ia mengatakan bahwa cuti bagi suami saat istrinya melahirkan akan dapat menambah kebahagiaan keluarga. Namun, apakah kebaikan dari program yang progresif ini berhenti di situ? Ternyata cuti ayah memiliki dampak yang lebih luas, khususnya terhadap ketenagakerjaan dan kesetaraan gender. Mari kita mengkaji kebijakan ini dari sudut pandang ekonomi.

Kontraproduktifitas Cuti Bersalin

Sebelumnya, bagimana hukum di Indonesia terkait cuti kelahiran anak? Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja perempuan berhak memperoleh cuti bersalin selama 3 bulan --- 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan --- dengan hak upah penuh. Sedangkan untuk pekerja laki-laki, Pasal 93 Ayat 4 memberikan mereka hak untuk mendapatkan cuti ayah, namun hanya selama 2 hari. Durasi ini tentunya terlalu pendek untuk mencapai tujuannya, yaitu untuk memperkuat hubungan dini ayah dengan anak dan meringankan beban ibu.

Terlebih lagi, pemberian cuti yang durasinya berbeda drastis antara ayah dan ibu dapat memunculkan perlakuan diskriminatif dan mempercuram kesenjangan upah antar gender. Sederhananya, pekerja perempuan menjadi lebih mahal bagi perusahaan dibanding pekerja laki-laki ketika mereka berhak mengambil cuti yang jauh lebih lama. 

Kalaupun bayaran cuti disubsidi pemerintah, perusahaan masih harus menanggung biaya untuk mencari pengganti sementara dan depresiasi human capitalsaat pekerja tersebut tidak bekerja untuk waktu yang lama. Hal ini memiliki dua dampak yang menekan upah pekerja wanita: pertama, menurunkan permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja wanita, dan kedua, meningkat preferensi terhadap pekerja laki-laki untuk diberikan promosi dan kenaikan gaji. Teori ini didukung oleh beberapa studi. Misalnya, upah pekerja perempuan jatuh setelah kebijakan cuti bersalin diperpanjang di Jerman. Jadi dapat dikatakan bahwa perbedaan durasi cuti orangtua antar gender memicu kesenjangan upah antar gender.

Sesungguhnya, kesenjangan upah antar gender merupakan fenomena kompleks sehingga tidak ada konsensus mutlak mengenai hubungannya dengan kebijakan cuti orangtua. Kesenjangan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat berbeda di setiap negara, seperti selektivitas pasar tenaga kerja, intensitas pekerjaan (full time vs. part time), segregasi pekerjaan antar gender, dan sebagainya. Meski begitu, sudah banyak bukti menunjukkan bahwa adanya cuti ayah yang cukup dan wajib lebih baik daripada hanya memberikan cuti bersalin. Mengapa demikian?

Penggeseran Paradigma Gender

Pertama, adanya cuti ayah kurang lebih menyamakan biaya dari mempekerjakan pekerja laki-laki, sehingga permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja laki-laki dan perempuan lebih berimbang. Yang lebih penting lagi, pemberian cuti ayah menggeser paradigma sosial terkait peran gender di rumah tangga dan meratakan tanggung jawab pengasuhan anak antara ayah dan ibu. Saat para ayah diharuskan untuk diam di rumah, mereka akan terpicu untuk membantu istrinya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus bayi yang baru lahir. 

Contohnya adalah di Quebec, dimana peneliti dari Cornell University menemukan bahwa laki-laki menghabiskan 23% lebih banyak waktunya untuk melakukan pekerjaan rumah setelah mengambil cuti ayah. Namun, hal yang masih menjadi tanda tanya adalah apakah dampak ini berlangsung terus lama setelah cuti ayah diambil.

Keterlibatan ayah di ranah domestik dapat memfasilitasi karier perempuan dan mengurangi kesenjangan upah antar gender melalui dua cara. Secara langsung, keterlibatan ayah meringkankan beban pengasuhan anak yang selama ini ditanggung pekerja perempuan, memudahkan mereka untuk kembali kerja setelah bersalin, dan dalam jangka panjang meningkatkan fleksibilitas bagi mereka untuk mengembangkan karier. Sebuah studi mendapatkan bahwa dari pekerja perempuan profesional yang berhenti bekerja, sebanyak 60% disebabkan oleh suami yang tidak membantu dalam pekerjaan rumah dan pengasuhan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun