Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, ibarat kompas yang menuntun arah perjalanan berbangsa dan bernegara. Dirancang secara teliti oleh para pendiri negara, dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya diharapkan dapat menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan berkomunitas, berkewarganegaraan, dan bernegara. Namun, di tengah tekanan arus globalisasi, kemajuan teknologi, dan perubahan sosial yang semakin rumit, pemahaman serta penerapan Pancasila di kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, menghadapi sejumlah tantangan. Fenomena sosial yang belakangan viral di media sosial, yaitu "kabur aja dulu", menjadi salah satu indikator nyata adanya gejala pelarian kolektif dan kekecewaan di kalangan generasi muda, yang secara tidak langsung menguji relevansi Pancasila sebagai perekat identitas nasional. Yang man pertanyaan utama yang muncul adalah: sampai seberapa jauh Pancasila masih memiliki arti dan dapat berfungsi sebagai pengikat identitas bangsa di zaman yang begitu cepat ini, terutama ketika ada dorongan untuk "menjauh" dari kenyataan? Nah essai ini akan menyelidiki signifikansi Pancasila sebagai sebuah ideologi yang fleksibel, mengkaji tantangan-tantangan yang dihadapinya dalam implementasinya dengan penekanan pada fenomena "momen menjauh", dan juga menekankan tindakan-tindakan yang bisa dilaksanakan. untuk kembali jiwa nasionalisme melalui Pancasila, disertai dengan studi kasus yang relevan.
Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dan Dinamis
Ide Pancasila sebagai sebuah ideologi yang fleksibel sangat penting dalam menghadapi perkembangan zaman. Menurut (Elizabeth, 2020) dalam artikelnya "Makna Keterbukaan dan Implementasi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka", Pancasila memiliki sifat keterbukaan yang memungkinkannya beradaptasi tanpa kehilangan fondasi dasarnya. Keterbukaan ini menggambarkan kemampuan Pancasila untuk menerima nilai-nilai baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan dasar dari lima sila Pancasila. Dimana Ideologi terbuka ini memungkinkan Pancasila untuk tetap kontekstual dan relevan, dan bukan hanya menjadi doktrin kaku yang terisolasi dari realitas.
Namun, keterbukaan ini juga memiliki batasan. Dimana menurut (Elizabeth, 2020) yang menegaskan bahwa Pancasila tidak boleh bercampur dengan ideologi lain yang melenceng dari fundamennya. Batasan ini penting untuk menjaga keutuhan dan kemurnian Pancasila sebagai ciri khas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, masalah utama adalah bagaimana menginterpretasikan dan menerapkan prinsip keterbukaan ini agar Pancasila tetap berhubungan dan hidup dalam aktivitas masyarakat sehari-hari, khususnya di tengah yang memiliki berbagai tantangan yang dapat mendorong sikap "kabur dari tanggung jawab".
Tantangan Pengimplementasian Pancasila di Era Modern dan Fenomena "Kabur Aja Dulu"
Meskipun Pancasila adalah ideologi terbuka, pengimplementasiannya di era modern tidak lepas dari berbagai hambatan. Salah satu permasalahan mendasar adalah pemahaman nilai-nilai Pancasila yang masih kurang di kalangan masyarakat, terutama generasi milenial dan Gen Z ,menurut (Irwan et al., 2021; Ramadhan & Najicha, 2023) Dimana kondisi ini terlihat dari tindakan dan sikap masyarakat yang kadang-kadang tidak sejalan dengan peraturan hukum dan undang-undang yang ada, serta minimnya rasa hormat terhadap orang tua dan pengajar, sebagaimana disinggung oleh (Irwan et al., 2021) terkait kondisi di Desa Kaumbu.
Arus globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, juga turut memperparah tantangan ini. Generasi muda menghadapi berbagai pemikiran baru yang mungkin tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila. Dimana krisis identitas nasional pada generasi Z di masa pandemi, sebagaimana diteliti oleh (Pasha et al., 2021), yang menunjukkan bahwa di era digital, nilai-nilai luhur bangsa seringkali terpinggirkan oleh pengaruh budaya asing dan informasi yang tidak terfilter. Yang mana selain itu, munculnya ideologi ekstrem dan kejadian kekerasan yang diklaim dilakukan demi agama serta praktik diskriminasi juga menunjukkan tantangan bagi nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan bangsa Indonesia, yang secara jelas bertentangan dengan Pancasila. Yang membuat praktik diskriminasi juga menjadi gambaran penghalang bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan bangsa Indonesia, yang secara eksplisit bertentangan dengan Pancasila.
Dalam konteks tantangan ini, fenomena "kabur aja dulu" muncul sebagai gejala sosial yang patut diwaspadai. Istilah yang populer di platform media sosial ini, terutama di antara generasi muda, yang menggambarkan suatu sindiran serta cerminan dari ketidakpuasan terhadap berbagai masalah yang ada di negara kita. Seperti yang diuraikan dalam esai yasa ini, tren ini bisa menunjukkan gejala sosial yang lebih serius: sebuah bentuk pelarian kolektif dari tanggung jawab sosial, politik, dan kebangsaan. Yang mana hal ini lahir dari berbagai tekanan hidup, seperti beban ekonomi, ketidakstabilan politik, kualitas hidup yang menurun, hingga minimnya kepercayaan terhadap pemerintah, menurut (Ibraham, 2025; Voi.id, 2025) Ketika individu memilih menjauh dari tanggung jawab sosial dan memilih "kabur", ruang kosong yang ditinggalkan rentan diisi oleh ideologi lain, yang mana bisa berupa konsumerisme ekstrem, hedonisme, bahkan radikalisme, menurut (Ashar, 2021; sahabat pegadaian, 2024) Yang mana konsumerisme yang berlebihan dapat mengikis nilai kesederhanaan dan gotong royong dalam Pancasila, sementara hedonisme menjauhkan individu dari kepedulian sosial yang merupakan esensi dari keadilan sosial. Dan juga radikalisme, yang seperti diungkapkan oleh (Ashar, 2021), yang pada dasarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila yang mengedepankan toleransi, kesatuan, dan kemanusiaan.
Analisis Kasus: "Kabur Aja Dulu" sebagai Indikator Degradasi Nilai Pancasila