Pendahuluan
Revolusi bukan hanya pergantian rezim penguasa melalui pergolakan rakyat yang terjadi secara cepat. Revolusi kadang disertai dengan konflik bersenjata antara pihak-pihak yang mempertahankan status quo dan pihak-pihak yang ingin melakukan perubahan secara menyeluruh. Dalam sejarah modern, revolusi dimulai dari Revolusi Amerika, ketika rakyat Amerika Serikat berusaha melepaskan diri dari Kerajaan Inggris karena ketidakadilan yang terjadi di wilayah koloni. Setelah itu bergeser ke Revolusi Prancis yang menggulingkan kekuasaan Louis XVI dari Dinasti Bourbon. Pada abad ke-20, Rusia pun mengalami pergolakan revolusioner setelah kalah dalam Perang Dunia I melawan Jerman dan menggulingkan Dinasti Romanov yang telah berkuasa sejak abad ke-17.
Para pemikir klasik dan modern telah lama mengidentifikasi faktor-faktor penyebab perlawanan rakyat terhadap rezim berkuasa. Menurut Karl Marx, yang pemikirannya menjadi dasar Revolusi Bolshevik di Rusia, revolusi terjadi karena ketimpangan sosial antar kelas. Para pemilik modal yang menguasai faktor-faktor produksi memperoleh nilai surplus, sementara kelas pekerja yang tidak menguasai faktor produksi tidak menikmati hasil dari produk yang mereka ciptakan. Menurut Marx, ketimpangan ini tidak akan hilang dengan reformasi kecil, tetapi hanya bisa dihapus melalui revolusi yang menggulingkan sistem kapitalisme dan menciptakan masyarakat tanpa kelas.
Menurut Chalmers Johnson, melalui teori ketegangan struktural, revolusi terjadi karena ketidaksesuaian dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Ketika ketegangan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh institusi yang ada, krisis akan meledak menjadi revolusi. Teori ini menekankan bahwa revolusi bukan hanya akibat ketimpangan ekonomi, tetapi juga karena struktur sosial-politik tidak mampu lagi menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi atau tuntutan masyarakat.
Lebih lanjut, Johnson mengamati tiga unsur utama penyebab revolusi. Pertama, ketidaksesuaian struktural, di mana struktur politik, ekonomi, dan sosial sudah tidak sejalan dengan nilai-nilai atau aspirasi masyarakat. Contohnya adalah ketika sistem feodal atau monopoli kapital tetap berkuasa sementara rakyat menuntut sistem yang lebih terbuka dan adil.
Faktor kedua adalah ketidakmampuan sistem menyerap ketegangan. Lembaga negara tidak mampu merespons perubahan yang terjadi di tengah masyarakat atau menyerap tuntutan rakyat. Ketika saluran aspirasi tertutup, ketegangan sosial akan meningkat. Situasi ini dapat dirasakan juga saat ini, ketika lembaga negara dan partai politik tidak lagi mewakili aspirasi rakyat.
Faktor ketiga adalah munculnya gerakan alternatif sebagai respons atas kegagalan rezim menyerap aspirasi rakyat. Faktor ini juga melahirkan tokoh-tokoh baru yang menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa.
Revolusi Amerika
Revolusi Amerika bukan merupakan pergolakan antara kelas miskin dan kelas atas, melainkan konflik antara penduduk kolonial Inggris yang ingin memperluas kepemilikan lahan, dan kerajaan yang membatasi mereka. Konflik ini muncul saat Kerajaan Inggris menerapkan pajak Stamp Act (1765) dan Tea Act (1773) untuk menutupi biaya Perang Tujuh Tahun melawan Prancis. Kebijakan ini membuat penduduk koloni merasa dijadikan sapi perah. Faktor lainnya adalah larangan ekspansi tanah ke wilayah suku Indian di barat Amerika melalui Proclamation Act, yang membuat penduduk koloni merasa dibatasi.
Perlawanan membesar ketika pasukan Inggris menembak mati lima warga Boston yang memprotes kebijakan kerajaan. Kejadian ini memicu kemunculan isu kemerdekaan. Tokoh-tokoh nasionalis Amerika mulai terinspirasi oleh pemikiran John Locke yang menegaskan bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat, bukan raja. Gerakan rakyat mulai melakukan boikot, sabotase, bahkan aksi kekerasan terhadap simbol-simbol kekuasaan Inggris di koloni.