Mohon tunggu...
SATRIA KUSUMA DIYUDA
SATRIA KUSUMA DIYUDA Mohon Tunggu... Wiraswasta - ya begitu deh...

Menulis di waktu senggang saja...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Demi Status Vs Demi Konten

2 Agustus 2019   10:14 Diperbarui: 2 Agustus 2019   10:19 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Istilah "demi konten" saat ini banyak terdengar dikalangan anak-anak muda yang senang membuat yoube, mulai dari yang hanya bercanda hingga yang serius. 

Bukan lagi foto yang menjadi tujuan utama, namun sebuah video berdurasi pendek dimanapun, dan kapan pun, dan jika ada seorang kawan yang mulai mencela kegiatan mereka mengambil video, dengan enteng mereka pun menjawab "demi konten". lucu memang aktivitas yang mulai marak akhir-akhir ini.

Adapun beberapa teman yang menggarap video berdurasi pendek dan diunggah di channel youtube, memiliki tujuan yang lebih serius yaitu mendapatkan pendapatan. Beberapa cerita yang saya dengar, bahkan mereka memiliki alokasi biaya untuk membuat sebuah materi video untuk channel mereka di youtbe. 

Isi video mereka mulai dari percobaan-percobaan ringan dengan bahan-bahan yang bisa didapatkan secara umum, hingga penelitian sosial ringan dengan metode wawancara orang-orang di jalan. Dari kegiatan ini mereka bisa mendapatkan ratusan ribu subscriber dan jutaan viewer. 

Dengar-dengar pendapatan mereka untuk yang mendapatkan subscriber seratusan ribuan keatas bisa mencapai Rp. 15.000.000-20.000.000. di tambah jika mereka mendapatkan endorse dari beberapa produk jasa ataupun barang tertentu, bisa mencapai kontrak hingga Rp. 150.000.000 pertahun. 

Bahkan jika subscriber mencapai jutaan penghasilan mereka mungkin bisa puluhan hingga ratusan juta, seperti seorang pengrajin gitar terkenal yang dulu ada di bilangan Bendungan Hilir, yang katanya bisa meraup pendapatan hingga Rp. 100-an juta perbulannya dari aktivitas menjadi youtuber. 

Mendengar dan melihat aktivitas anak-anak ini sungguh sangat diluar dugaan saya. Bahkan saya pun turut membuka channel youtube mereka dan mencoba mengobservasi, ternyata dengan keseriusan mereka bisa menjadi jutawan muda...kalimat jadul yang dulu menjadi impian orang tua kita, hahaha.

Berkembangnya teknologi internet dengan segala macam turunannya, ternyata juga menghasilkan berbagaimacam turunan profesi baru yang tidak pernah kita bayangkan ditahun 90-an. 

Mulai dari konsultan softwear (tahun 2000an, baberapa teman kuliah saya bekerja membuat softwear), gamers, instagram artis, youtuber, bahkan yang aneh adalah seorang teman saya yang menjadi pedagang online dengan penghasilan belasan juta hanya karena ia malas bekerja kantoran, seperti yang banyak diimpikan oleh anak muda dimasa lampau.

Bertolak belakang dari situasi kekinian, beberapa waktu yang lalu saya sempat mendapingi sekelompok orang tua ke Kantor Staf Kepresidenan untuk menyuarakan status mereka untuk diangkat sebagai PNS. 

Status ini sudah lama mereka perjuangkan dan banyak dari mereka berprofesi sebagai guru. Bahkan ada pegawai honor yang masuk dalam usia menjelang pension, status mereka masih terkatung-katung. 

Saya menilai, begitu berat perjuangan mereka selama bertahun-tahun, bahkan mungkin belasan tahun untuk berjuang mendapatkan status sebagai pegawai negeri sipil. 

Sebenarnya pemerintah memang memberikan dua pilihan yaitu diangkat sebagai PNS dengan segala persyaratan yang harus dipenuhi atau diangkat sebagai pegawai negara non-pns, perbedaan mendasarnya hanyalah dari segi pension. Pegawai negara non-PNS biasanya mendapatkan gaji yang lebih baik dengan tunjangan yang sama, namun ketika memasuki masa pension mereka tidak mendapatkan tunjangan pensiun. 

Sebenarnya ini yang menjadi permasalahan para pegawai honorer dengan perjuangan mereka untuk mendapatkan status PNS tersebut. Diakhir pertemuan, seorang staf bercerita kepada saya, sepertinya memang perlu sosialisasi lagi mengenai pilihan pengangkatan seorang pegawai honorer di pemeritahan daerah, karena tidak harus menjadi PNS, karena pegawai pemerintah non-PNS pun juga mendapatkan gaji yang lebih besar dan tunjangan yang sama. 

Saya pun menjawab, tapi perjuangan mereka untuk mendapatkan status PNS harus dihargai, karena selama ini mereka berharap penuh diakui statusnya sebagai PNS, dan tentu berbeda dengan kita yang masih muda (dah setengah tua kali yah, tapi masuklah ke generasi awal mille..hehehe) banyak pilihan pekerjaan tanpa harus mementingkan status, apakah honor, pns, freelance yang terpenting bisa menghasilkan. Karena mereka status adalah yang utama (mungkin bisa kita bilang "demi status").

Saya pun membayangkan anak-anak yang lahir di tahun 80-an seperti saya, ketika itu hanya dihadapkan dengan sedikit pilihan profesi, kalau tidak menjadi tentara, yah jadi polisi (maklum akibat rezim yang militeristik kala itu), yah jadi PNS. 

Teman-teman dari keluarga kaya mungkin lebih banyak pilihan lagi, kalau tidak jadi dokter, yah jadi tukang insinyur. Bahkan dulu ada teman SMP saya yang bercita-cita menjadi preman hahaha. 

Zaman kian berubah jauh, anak-anak saat ini memiliki perjuangannya sendiri dan lebih bebas memilih perjuangannya untuk mewarnai kehidupannya, apakah demi status atau demi konten.

Gd. Nusantara I, jam 18:40.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun