Nilai strategis lain dari Citarum adalah pasokan 80% kebutuhan air baku untuk air minum (air bersih) warga DKI Jakarta. Jatiluhur juga memasok kebutuhan air baku untuk Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kabupaten Karawang.
Citarum dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum di bawah Kementerian PUPR. Badan inilah yang memegang peranan penting dalam pelaksanaan Program Citarum Harum yang telah dicanangkan Presiden Jokowi tanggal 22 Pebruari 2018 yang lalu. Dalam rangka pencanangan itu Presiden Jokowi turun langsung meninjau kondisi DAS Citarum Hulu termasuk Situ Cisanti tempat mata airnya.
Diantara banyak Permasalahan yang dihadapi Citarum selama ini terdapat tiga hal yang sangat berat yaitu banjir dan penyusutan debit air, sangat buruknya kualitas air dan tingginya sedimentasi. Tiga hal inilah yang menjadi fokus utama dari Program Citarum Harum
Persoalan Banjir versus Penyusutan Debit Air
Persoalan banjir Sungai Citarum menjadi persoalan kronis. Banjir besar bukan lagi merupakan banjir tahunan tapi banjir yang terus datang selama musim penghujan. Secara garis besar wilayah yang biasa terdampak banjir Citarum terbagi menjadi 2 yaitu Kawasan Cekungan Bandung khususnya Bandung Selatan dan Kawasan Pantura Jawa Barat seperti Indramayu dan Karawang.
Kawasan Bandung selatan menjadi sangat rentan dan paling parah terdampak banjir Citarum bukan saja karena faktor geografi dan topografi yang berada di Kawasan Cekungan Bandung, tapi juga karena pertemuan beberapa anak sungai di area yang sangat berdekatan. Banjir yang kerap melanda Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot dan Bojongsoang misalnya terjadi antara lain karena bertemunya Sungai Cipamokolan dan Sungai Cikeruh di lokasi yang sangat berdekatan. Ada belasan anak sungai Citarum yang bermuara di Kawasan Cekungan Bandung, 7 diantaranya di Bandung Selatan.
Lain di Musim penghujan lain pula di musim kemarau. Saat kemarau debit air Sungai Citarum beserta anak-anak sungainya dipastikan menyusut. Volume aliran air berkurang signifikan. Kondisi lebih buruk akan terjadi saat kemarau berkepanjangan. Volume air yang masuk ke Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur menjadi sangat kecil sehingga mengancam ketersediaan debit air yang dibutuhkan untuk menggerakkan turbin di PLTA yang berada di 3 waduk tersebut, yang pada gilirannya akan mengancam pasokan daya listrik ke Sistem Jamali. Padahal PLTA Saguling mempunyai tugas khusus yang sangat strategis dalam Sistem Jamali, yakni sebagai "pembagi daya cadangan" jika terjadi black out pada Sistem Jamali tersebut.
Menurunnya debit air Citarum juga mengancam kelangsungan pasokan air baku untuk kebutuhan air bersih warga DKI Jakarta, Kab/Kota Bekasi dan Karawang dari Jatiluhur.
Buruknya Kualitas Air
Sementara itu kondisi kualitas air Citarum sudah dalam tingkat yang membahayakan. Tahun 2018 World Bank menobatkan Citarum sebagai sungai terkotor di dunia. Pencemaran akibat limbah industri dan limbah domestik sudah pada tingkat yang kronis. Ini terjadi terutama di Kawasan Cekungan Bandung. Industri terutama tekstil tersebar dalam jumlah yang sangat banyak mulai dari Majalaya, Rancaekek, Solokanjeruk, Bojongsoang, Baleendah, Banjaran, Dayeuhkolot dan Nanjung. Industri-industri inilah yang dituding bertanggung jawab sebagai penyumbang limbah industri ke Sungai Citarum.
Limbah domestik juga tidak kalah besar kontribusinya kepada buruknya kualitas air Citarum. Kesadaran masyarakat di DAS Citarum Hulu untuk membuang sampah secara tertib sangatlah memprihatinkan. Anak-anak sungai Citarum menjadi tempat sampah yang sangat panjang.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!