Mohon tunggu...
Kang Win
Kang Win Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kebersamaan dan keragaman

Ingin berkontribusi dalam merawat kebersamaan dan keragaman IG : @ujang.ciparay

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

16 April, Refleksi Setahun Berkompasiana

19 April 2021   02:07 Diperbarui: 19 April 2021   02:21 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


 "menjadi Kompasianer itu menikmati indahnya berbagi inspirasi, bertautnya persahabatan dan terjalinnya persaudaraan"


Tulisan pertama saya di kompasiana yang berjudul "Milangkala" terinspirasi oleh kelahiran dua anak kami, yakni anak pertama dan ketiga yang sama-sama lahir di tanggal 16 April. Saya menayangkan tulisan itu di kategori humaniora. Uniknya, "mimin" merubah kategorinya menjadi puisi.  Jadilah tulisan tersebut selain menjadi tulisan pertama saya di Kompasiana juga menjadi puisi pertama yang saya tulis, pada saat umur sudah menginjak 55. Benar-benar puisi yang pertama. Sebelumnya tak pernah sekalipun menulis puisi, bahkan saat sekolah dulu. 

Kejadian artikel saya diganti kategorinya, membuat saya paham bahwa "mimin" itu tidak main-main. Tidak main tayang begitu saja, tanpa terlebih dahulu membaca dan menilai isi artikel yang masuk. Disini saya angkat topi untuk "mimin".

Saya merasa tepat untuk menjadikan tanggal 16 April itu sebagai tonggak kehadiran saya di Kompasiana, meski artikel pertama itu tayang 2 hari sebelum tanggal 16 April 2020.

Ini berarti saat ini saya sudah melewati satu tahun pertama kekompasianeran saya. Tidak ada yang istimewa dalam setahun kehadiran saya jika diukur dari kinerja kepenulisan. Dalam setahun itu, hanya menulis 186 artikel, yang berarti produktifitas menulis saya hanua setengah artikel per hari atau 1 artikel per dua hari.

Kalau ukuran kualitas artikel ditentukan oleh label dan views, juga tidak ada yang bisa dibanggakan. Dari 186 artikel itu hanya meraih 53.733 views. Ini berarti rata-rata views artikel-artikel saya kurang dari 300 per artikel atau tepatnya 288. Demikian pula dari sisi label, total artikel yang memperoleh label pilihan hanya sekitar 70% saja. Dengan ketiga variabel itu (produktifitas, views dan label) maka kinerja kepenulisan saya bisa dikatakan "sangat biasa-biasa saja". Kalaupun ada artikel yang "AU" jumlahnya tidak lebih dari 7. Itupun diperoleh dalam 4 bulan pertama. 8 bulan berikutnya tak ada satupun "AU" yang mau mampir lagi. Padahal saya harus berdarah-darah untuk menyelesaikan sebuah tulisan 😁😁😁 Mungkin "mimin" sudah lupa sama saya ya 🤭

Tentang itu saya harus legowo menerimanya. Saya harus percaya bahwa tidak diberikannya "AU" kepada tulisan-tulusan saya, atau rendahnya tingkat "label pilihan" semata-mata karena kualitas tulisan yang tidak bagus. Jadi bukan disebabkan adanya sentimen negatif dari "mimin" misalnya. Lagi pula masa ada sentimen negatif jika antara "mimin" dan saya tidak saling kenal secara pribadi. Kalaupun ada satu mimin yang saya kenal dekat, itu adalah mimin mintarsih sahabat saya di kampung.

Kapasitas menulis saya memang sangat terbatas. Misalnya saja saya tidak terlalu bisa menulis topik-topik aktual baik yang adem-adem saja maupun yang lagi hangat-hangatnya. Saya juga belum sekalipun menulis yang menjadi Topik Pilihan Kompasiana. Bahkan saya tahu ada program topik pilihan baru belakangan ini. Jadi  dalam hal menulis ini sayapun harus mengakui sebagai makhluk jadul yang out of date. Yang memorinya penuh berisi aplikasi yang tidak bisa diupdate karena tersimpan di hard disk yang sudah karatan. Karenanya saya sekarang memilih realistis untuk tidak berharap sebuah "AU" akan mampir. Saya tidak ingin seperti yang dikatakan anak-anak metropolitan : "MUKALU JAUUUH !"

K-Reward ? Ahh apalagi itu. Dari segi pencapaian kinerja penulisan seperti diuraikan di atas, K-reward menjadi jauh panggang dari api. Tapi bukan karena itu kalau sikap saya rada-rada miring. Pengalaman 3 kali dapat K-reward ketika masih mensyaratkan minimal 3.000 google views (tidak 1.500 seperti sekarang), sama sekali tidak melahirkan kebanggaan. Bagi penerimanya K-reward berpotensi menjadi "racun" yang mematikan  kualitas penulisannya. Ini bisa terjadi jika Kompasianer yang bersangkutan terjebak "fee oriented" di satu sisi. Pada sisi lain dia tidak menyadari bahwa nominal yang diberikan sangat tidak layak untuk disebut sebagai reward (fee). Saya melihat ada kecenderungan ini dari beberapa Kompasianer (untuk tidak mengatakan banyak).

K-reward tidak mencerminkan sebagai fee tapi lebih kepada pemberian belas kasihan yang seperseratus hati (bukan hanya setengah hati). Kompasianer harus mengesampingkan K-reward sebagai motif kekompasianerannya dan konsen kepada kualitas penulisan, yang melahirkan tulisan-tulisan yang mengandung nilai manfaat bagi pembacanya. Kalaupun sekali waktu beroleh K-reward, anggap saja sebagai pemberian nasi bungkus saat kita ikut gotong royong membersihkan Ciliwung dari tumpukan sampah. Kita tidak pernah kecewa menerima pemberian nasi bungkus, karena paham nasi bungkus seperti apa yang kita terima.

Mohon maaf kalau saya mengatakan hal ini dalam status saya sebagai Kompasianer pendatang baru. Pemilik centang hijau yang bermakna anak kemarin sore yang masih hijau pengalaman di dunia tulis menulis. Mungkin bisa disebut tak tahu diri. Namun ini semata-mata bentuk keprihatinan saya. Jujur saya mengatakan, saya tidak terlalu peduli dengan kebijakan Kompasiana tentang hal itu, tapi saya peduli dengan eksistensi sahabat-sahabat Kompasianer. Keprihatinan yang muncul justru saat saya sudah menjadi Kompasianer, melihat sebuah kecenderungan yang tidak saya temui 4-5 tahun ke belakang ketika saya hanya menjadi pembaca setia Kompasiana.

Panjang lebar ngomong K-reward, sebenarnya saya hanya ingin mengatakan, dengan mengesampingkan K-reward itu saya percaya dari hard disk karatan di cpu jadul saya, inspirasi akan terus mengalir mewarnai gaya penulisan saya. Dan sayapun dengan pede bisa membuat klaim keberhasilan khusus bagi saya dalam kekompasianeran saya yang belum seumur jagung ini. Setidaknya ada dua yang bisa saya kemukakan.

1. Saya menjadi anggota Inspirasiana, sebuah grup WA untuk sebuah komunitas Kompasianer yang konsen pada peningkatan kualitas penulisan.  Bagi saya undangan yang saya terima untuk bergabung di grup ini merupakan prestasi tersendiri dan sungguh menjadi kebanggaan (tidak seperti menerima K-reward). Di Inspirasiana saya bisa bergabung dan berinteraksi secara positif dengan Kompasianer-Kompasianer Hebat yang sebagian besar merupakan Anak-anak muda hebat, yang memenuhi ruang keanggotaan grup. Meski kesempatan berinteraksi itu terjadi sesekali saja akibat keterbatasan waktu saya. Dengan bergabung ke Inspirasiana saya berharap bisa ketularan "pinter nulis" atau setidak-tidaknya bisa ikut numpang hebat 😁😁😁

2. Di Kompasiana saya berkenalan dengan penulis-penulis hebat, saling berbagi inspirasi dan membangun persahabatan juga menjalin persaudaraan. Saya berinteraksi dengan Kompasianer Hebat seperti Pak Tjiptadinata dan Ibu Roselina, Bli Ketut Suweca, Prof. Felix, Pak Katedra, Romo Bobby Steven, Pak Budi Susilo dan yang lainnya. Ada juga Ali Musri Syam dan Junius Barathan yang saya anggap "guru" saya dalam berpuisi. Juga Anak-anak Muda Hebat. Meirri Alfianto, Ari Budianti, Khrisna Pabichara, Indra Rahadian, Tonny Syiariel, Celestine Paterson, Irwan Sikumbang, Bayu Samudra, Fatmi Sunarya, Tati Ajeng, Hendro Santoso, Y. Edward Horas, untuk menyebut sebagian kecil dari mereka Anak-anak Muda Hebat itu. Bisa berinteraksi dengan mereka, meski hanya lewat komentar-komentar di artikel, adalah sebuah prestasi tersendiri buat saya.

Kalau saya menyebut beberapa nama itu, bukanlah sebuah puja puji tak bermakna. Akan tetapi ini sebuah apresiasi karena para Kompasianer secara keseluruhan telah berkontribusi pada jejak kekompasianeran saya.

Seorang Kompasianer Hebat menuliskan puisi khusus untuk saya "Goresan Puisi Perdana di Usia 55", yang membuat istri saya mengacungkan dua jempol sekaligus untuk saya, bukan untuk penulisnya 😁😁😁

Kompasiana bisa membuat saya mendapat sahabat baru yang bukan dari kalangan Kompasianer. Salah satu harus saya sebut disini yaitu Sr. Justanti, OSU. Seorang Suster Katolik di Papua yang pernah belajar di Bandung. Malam sudah cukup larut ketika tiba-tiba masuk sebuah chat/pesan WA dari nomor yang tidak dikenal

"Wilujeng wengi Kang Win .
Abdi nampi no ieu ti Rm. Bobby.
Abdi dikintun tulisan Kang Win ttg imlek -kompasiana. Waaah nuhun pisan, eta tulisan sae pisan
."

"Salam kenal Sr.(suster) Justanti, OSU ti Papua"

Saya kemudian mengetahui, Suster ini merupakan Kakak dari Dwi Klarasari, salah seorang anak muda hebat lainnya di jajaran Kompasianer.

Kompasiana juga bisa membuat saya menitikkan air mata haru, sesuatu yang mahal pada diri saya. Suatu ketika di sebuah sore tanpa disadari air mata menitik dari salah satu sudut mata ketika membaca sebuah pesan WA yang masuk ke nomor saya beberapa jam sebelumnya.

"Siang, Kang Win. Mungkin inilah takdir Tuhan. Dipertemukan dengan seorang saudara yang lahir di RS Santo Yusuf. Saya adalah penulis buku Mencintai Santo Yusuf."

"Membaca tulisan Kang Win tentang Imlek dan Keberagaman membuat hati saya tersentuh."

Hal-hal di atas  telah menguatkan saya untuk tetap merawat kekompasianeran saya dalam keterbatasan kapasitas menulis saya. Pada titik ini saya menemukan bahwa menjadi Kompasianer itu menikmati indahnya berbagi inspirasi, bertautnya persahabatan dan terjalinnya persaudaraan. Itulah nilai utama kehadiran saya di Kompasiana.


Hormat saya untuk semua 🙏🙏🙏

Alfakir
kangwin, April¹⁶, 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun