Alkisah tersebutlah di sebuah tinggal seorang ibu "idaman" yang  menampakkan dirinya seolah-olah masih seorang perawan muda belia nan cantik jelita. Ketika seorang pemuda gagah nan rupawan mendatanginya dan meminang untuk memperistri, Sang ibu "idaman" tak punya satupun alasan kuat yang bisa dikemukakan untuk menolaknya. Namun menolak lamaran Sang Pemuda rupawan itu menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambilnya. Karena dia tahu pemuda rupawan itu tiada lain adalah putranya sendiri yang hilang saat masih kanak-kanak.
Sang pemuda bersikeras, Sang Ibu "idaman" kepepet dan mau tidak mau harus menerima pinangan. Namun dengan syarat. Minta dibuatkan sebuah danau dan sebuah perahu dalam satu malam dan harus selesai sebelum matahari terbit. Sang Pemuda menyanggupi.
Danau sudah terbentuk dengan cara membendung sebuah sungai. Perahu hampir selesai ketika kokok ayam terdengar bersahutan dan matahari tampak mulai bersinar, Sang Pemuda menyesali dirinya yang gagal memenuhi syarat dari Sang Ibu "idaman".Â
Gagal pulalah impian untuk lalayaran (berperahu) berdua dengan Sang pujaan hati yang jadi idamannya. Diapun marah. Ditendangnya perahu yang hampir jadi. Perahupun terbang jauh dan jatuh tertelungkup, "nangkuban" menurut basa Sunda.
Perahu yang tertelungkup (nangkuban) seketika berubah menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tangkuban Parahu di utara Bandung. Tangkuban Parahu artinya perahu yang tertelungkup (terbalik). Sedangkan danaunya kemudian dikenal dengan Danau Bandung Purba, danau raksasa yang meliputi kawasan Kota Bandung sekarang dan sekitarnya, yang dikenal dengan sebutan "kawasan cekungan Bandung". Karena bentuknya cekungan itulah Kota Bandung dan sekitarnya relatif sulit terhindar dari banjir saat musim penghujan.Â
Setidaknya ada 9 "pintu" masuk menuju ke Kawasan Cekungan Bandung baik berupa jalan negara maupun jalan provinsi. 3 dari arah Garut, Â 2 dari Cianjur dan masing-masing 1 dari Purwakarta, Subang, Sumedang dan Tasikmalaya. Belum lagi 2 jalur kereta api yaitu jalur utara dan jalur selatan.Â
Dari arah manapun kita masuk maka perjalanan kita akan menanjak lalu kemudian turun. Ini digambarkan dengan ungkapan dalam basa Sunda "Bandung dilingkung ku gunung" (Bandung dikelilingi oleh gunung). Adapun sungai yang dibendung oleh Sangkuriang dikenal kemudian dengan nama Sungai Citarum yang berhulu di selatan Bandung.
Itulah petikan bebas kisah kasih yang tak sampai dari seorang pemuda gagah nan rupawan bernama Sangkuriang kepada Sang Ibu "idaman" nan cantik jelita bernama Dayang Sumbi atau Rarasati dalam Kisah Sangkuriang Kabeurangan. Sebuah legenda yang selaras dengan peristiwa alam yang sesungguhnya yang menyertai terbentuknya Danau Bandung Purba.
Secara ilmiah dapat dijelaskan bahwa Danau Bandung Purba terbentuk akibat letusan dahsyat Gunung Sunda (+/- 4.000 mdpl) yang mengakibatkan terbendungnya Sungai Citarum membentuk Danau Bandung Purba.Â
Hal ini membantah anggapan sebelumnya bahwa Danau Bandung Purba terbentuk akibat letusan Gunung Tangkuban Parahu. Secara ilmiah juga dibuktikan bahwa Gunung Tangkuban Parahu terbentuk pada fase ketiga letusan Gunung Sunda. Jadi Sungai Citarum sudah ada sebelum Gunung Tangkuban Parahu terbentuk.
Sangkuriang menjadi simbol kegagahan dan kekuatan tekad Urang Sunda, sedangkan Dayang Sumbi atau Rarasati menjadi simbol kecantikan kaum perempuan Bumi Parahyangan. Tanah yang dikenal kecantikan alamnya yang digambarkan oleh M.A.W. Brouwer dengan  : "Parahyangan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum".