Kampung kami, hanya kota kecil saja, kota kecamatan di Selatan Kota Bandung, bernama Ciparay, termasuk wilayah Kab. Bandung. Dekade 70-an sampai 80-an, Ciparay adalah kota kewedanaan, yang membawahi 4 kecamatan yaitu Majalaya, Paseh, Pacet dan Ciparay sendiri. Setelah kewedanaan dihapuskan, wilayah eks kewedanaan Ciparay itu, kini telah dimekarkan menjadi 9 kecamatan.
Berbeda dengan kecamatan tetangganya yaitu Majalaya yang dijuluki “kota sandang” karena sempat menjadi penghasil tekstil terbesar di Indonesia, Ciparay memiliki kultur agraris yang kuat. Pesawahan yang terbentang luas, dengan kelompok taninya yang guyub. Pada dekade 80-an sempat diputuskan menjadi Ibukota baru Kab. Bandung yang harus pundah dari Kota Bandung. Rencana menjadi ibukota itu, gagal karena dibatalkan oleh Mendagri Amir Mahmud, dengan alasan mempertahankan areal pesawahan yang dilindungi Inpres.
Ya pesawahan di Ciparay memang termasuk kawasan kelas 1 yang menjadi salah satu lumbung padi Jawa Barat. Sampai sekarang areal pesawahan di Ciparay, relatif tidak terlalu banyak berkurang dibandingkan daerah lain. Selain sebagai lumbung padi, beras yang dihasilkan sebagian besar merupakan beras terbaik. Ini sudah sangat dikenal di dunia perberasan. Pada musim panen, tiap hari puluhan ton beras ciparay bergerak ke Pasar Induk Cipinang Jakarta, pasar induk khusus beras.
Sampai saat ini, Ciparay tetap menjadi kota kecil. Tidak ada mall maupun supermarket. Yang ada sebatas mini market. Yang berbeda, sekarang lebih disemarakan dengan kehadiran puluhan tempat kuliner, baik berupa kedai kopi, resto cafe, rumah makan. Ini mungkin berkaitan dengan histori dekade 70-an seperti diuraikan di bagian atas.
Meski secara historis, Ciparay berlatar belakang kultur agraris, masyarakat Ciparay sejak dulu dikenal sangat melek pendidikan. Kondisi ini telah memberikan dampai positif yang signifikan.
Oh ya sampai dekade 70-an, sekolah negeri di Ciparay hanya sampai SMP, belum ada SMA Negeri. Satu-satunya SMP Negeri yang ada waktu itu, kini bernama SMP 1 Ciparay. Ketika saya bersekolah di situ, teman saya ada yang harus berjalan kaki belasan kilometer untuk pergi ke sekolah.
Kini masyarakat Ciparay boleh berbangga hati karena SMP ini telah nelahirkan seorang Ketua Umum PP Muhamadiyah, pernah nelahirkan Wakapolri dan Pangdam serta 3 orang bupati/walikota serta beberapa profesor.
Begitulah, kultur agraris memang background kami. Meski saat ini kami disesaki dengan keanekaragaman yang hadir sejalan dengan derasnya kaum pendatang dari berbagai pelosok Nusantara, tapi kultur agraris itulah yang membuat kami dipenuhi dengan semangat kebersamaan. Semua menyatu bersama-sama menyikapi setiap perubahan.
Ciparay, mengenangmu membuatku merindukanmu.
Salam hangat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI