Mohon tunggu...
teteh chatay pasific...
teteh chatay pasific... Mohon Tunggu... Travailler comme secrétaire chez Cathay Pacific.

Troisième au concours de mangeurs de krupuk, titre de "subRegional Star" à Magic Chess Go Go, troisième à la course de 100 mètres de Java Est.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sahabat

17 Oktober 2025   03:05 Diperbarui: 17 Oktober 2025   03:19 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sahabat Tak Terlihat di Kelas Sepi


Pagi itu, Risa, siswi kelas I IPA  4 yang dikenal pendiam dan sering menyendiri, sedang piket membersihkan kelas sebelum bel berbunyi. Sunyi. Hanya suara sapu yang bergesekan dengan lantai. Saat membersihkan sudut belakang kelas, pandangannya menangkap sesuatu.
Di balik tirai jendela yang bergoyang tipis meski tak ada angin, tampak bayangan samar seorang gadis. Rambutnya panjang menjuntai, mengenakan seragam SMA putih abu-abu yang lusuh dan sedikit compang-camping, persis model seragam tahun 80-an.
"Pagi," sapa Risa, tanpa sadar.
Sosok itu menoleh. Wajahnya... pucat, tetapi matanya, meskipun kosong, tidak tampak menyeramkan. Bahkan, ada ekspresi melankolis di sana. Ia tidak tertawa melengking, tidak berteriak. Ia hanya diam, memandang Risa.
"Kamu... anak baru?" tanya Risa lagi, berusaha bersikap normal, meskipun ia tahu di dalam hatinya ada sesuatu yang tidak wajar.
Sosok itu menggeleng pelan, lantas tersenyum tipis. "Namaku Luna. Aku sudah di sini... lama sekali." Suaranya terdengar seperti bisikan angin di antara dedaunan kering.
Sejak hari itu, Risa memiliki teman rahasia. Luna, si kuntilanak yang menghuni pohon beringin di belakang sekolah, sering 'muncul' di kelas Risa, terutama saat kelas sedang kosong, waktu istirahat, atau sepulang sekolah.
Bagi Risa, Luna bukanlah hantu yang menakutkan, melainkan seorang pendengar yang baik. Luna tahu semua rahasia sekolah---sejarah kelam di ruang olahraga, letak kunci ruang guru yang tersembunyi, hingga gosip-gosip kuno para siswa puluhan tahun lalu. Namun, Risa lebih senang bercerita tentang kehidupannya; tugas-tugas kimia yang rumit, rasa sukanya pada ketua OSIS, dan kesulitan bergaul dengan teman-teman sebayanya yang cerewet.
"Mereka tidak memahamiku," keluh Risa suatu sore, saat Luna duduk melayang di atas meja guru, mendengarkan.
"Manusia terlalu sibuk dengan yang terlihat," jawab Luna. "Aku mengerti kamu, Risa. Kita sama. Kita 'tak terlihat' oleh kebanyakan orang."
Persahabatan mereka berjalan mulus selama beberapa bulan, penuh dengan obrolan rahasia dan tawa bisikan yang hanya bisa didengar Risa. Luna tidak pernah meminta aneh-aneh, hanya senang ditemani.
Namun, persahabatan tak kasat mata itu mulai menarik perhatian. Teman sebangku Risa, Dini, mulai curiga.
"Risa, kenapa kamu selalu bicara sendiri? Kadang senyum-senyum ke kursi kosong," tegur Dini, suatu hari.
Risa hanya tersenyum canggung. Ia tidak mungkin mengatakan, "Aku sedang mengobrol dengan hantu cantik yang meninggal karena patah hati di tangga sekolah ini 40 tahun lalu."
Suatu hari, saat Risa sedang bercerita tentang mimpinya masuk universitas favorit, ia tiba-tiba melihat wajah Luna terlihat sedih.
"Kenapa, Lun?" tanya Risa.
Luna menatap Risa dengan sorot mata yang dipenuhi kesedihan yang mendalam. "Risa, kamu harus bergaul dengan mereka. Dunia kita berbeda. Kamu punya masa depan, aku punya masa lalu."
"Tapi kamu sahabatku!" Risa protes.
"Aku akan selalu ada di sini, di sekolah ini," kata Luna lirih. "Tapi kamu harus tumbuh. Jangan biarkan aku, atau masa laluku, menahanmu. Kamu pantas mendapatkan sahabat yang bisa menemanimu ke kantin, ke perpustakaan, bukan hanya sekadar bayangan di balik tirai."
Risa terdiam. Ia tahu Luna benar. Sahabat sejatinya, meskipun adalah hantu, sedang memintanya untuk melepaskan diri demi kebahagiaan Risa.
Malam harinya, Risa membawa sekuntum mawar putih dan meletakkannya di bawah pohon beringin tua. "Terima kasih, Luna," bisiknya.
Keesokan harinya, Risa mencoba lebih terbuka. Ia mengajak Dini ke kantin, tertawa mendengar lelucon konyol teman sekelasnya. Dunia Risa mulai berwarna, tidak lagi hanya didominasi sunyi.
Ketika Risa menengok ke sudut belakang kelas, di balik tirai jendela, Luna tidak ada. Tapi di meja Risa, tergeletak setangkai bunga melati segar---bukan mawar putih miliknya. Bunga yang selalu dikaitkan dengan aroma kuntilanak.
Risa tersenyum. Ia tahu, meskipun tak terlihat, sahabatnya masih ada. Luna telah menepati janjinya; ia melepaskan Risa, tapi tidak meninggalkan persahabatan mereka.

2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun