Jangan Jadi "Ngrewoki"
Pagi itu, aroma rendang dan bawang goreng mengepul dari dapur Mbak Ranti. Halaman rumahnya yang sederhana dihiasi tenda biru putih. Hari ini H-1 pernikahan adiknya, dan suasana rewang sudah memanas. Panci-panci besar diletakkan di atas tungku, menandakan gotong royong sedang berlangsung.
Para tetangga datang dengan sigap. Ada Pak Lik Karyo, tetangga sepuh yang kerjanya selalu gesit dan tanpa banyak bicara. Ia fokus menata ratusan kursi di bawah tenda, wajahnya basah keringat tapi bibirnya tersenyum. Itulah yang disebut rewang sejati.
Namun, tidak semua orang datang untuk rewang.
Tepat pukul sepuluh, Bude Warsi tiba dari kota sebelah. Tubuhnya dibalut batik cerah, suaranya melengking. "Ranti! Bude datang mau rewang! Jangan sungkan, ya!" Belum sempat Mbak Ranti menyambut, Bude Warsi sudah melesat ke dapur.
"Lho, Bu Sri! Kenapa wortelnya dipotong dadu besar-besar begitu? Nanti sop kan kurang cantik! Kalau mau cantik itu diiris miring, seperti di majalah resep!" Bude Warsi langsung mengambil pisau dan mulai mengutak-atik, membuat adukan bumbu yang sudah pas jadi berantakan.
Bu Sri, si koordinator dapur, hanya bisa mengelus dada. "Sudah sesuai resep katering, Bude. Kalau miring, nanti cepat lembek."
"Ah, kamu ini manut saja sama koki! Namanya rewang itu ya harus ada inovasi!" Bude Warsi tak peduli. Dia sudah mulai menggeser panci, mengintip isi wadah garam, dan menceramahi ibu-ibu tentang kolesterol. Dia datang untuk "membantu," tetapi faktanya, dia sedang ngrewoki (merepotkan).
Kekacauan semakin bertambah di luar. A Fong, pemuda keturunan Tionghoa yang tinggal dua rumah di sebelah, muncul sambil cengengesan. A Fong ini tipe ngrewoki yang usil.
"Lik Karyo, serius sekali! Nih, biar seru!"
Saat Pak Lik Karyo meninggalkan meja katering sebentar untuk mengambil air, A Fong dengan cepat menukar label di semua kotak katering. Label "Nasi Goreng Spesial" dipindah ke kotak "Kerupuk Udang." Label "Gulai Kambing" ditempelkan di kotak "Air Mineral Kemasan."
Ketika Pak Lik Karyo kembali, ia melihat A Fong cekikikan. "Koh Fong, apa yang kamu lakukan?"
"Cuma iseng, Lik! Biar nanti tamu kaget. Kan seru!" jawab A Fong tanpa merasa bersalah.
Pak Lik Karyo yang sudah lelah menata kursi terpaksa memanggil Mbak Ranti. Mereka menghabiskan waktu setengah jam untuk mencatat ulang semua isi kotak dan menempelkan label yang benar.
"Dasar! Itu namanya bukan rewang! Itu namanya ngrewoki waktu dan tenaga!" gerutu Mbak Ranti, tetapi hanya bisa menahan kesal karena A Fong tetangga.
Puncak dari segala kerepotan itu terjadi saat Pak RT Tarmadi, sosok yang disegani di kampung, datang. Pak RT duduk di kursi teras untuk mengawasi dan memberikan sambutan.
Bude Warsi, yang sudah diusir halus dari dapur, kini beralih menjadi pengawas ruang tamu. Matanya jeli, matanya selalu ingin tahu---ciri khas ngrewoki yang sulit dihilangkan. Ia melihat selembar kertas tebal menyembul dari tas kerja Pak RT yang diletakkan di sofa. Karena penasaran, Bude Warsi mendekat dan menariknya keluar.
Bukan kertas pengumuman rapat. Itu adalah majalah impor bergambar wanita berpakaian minim. Playboy edisi lama.
"Ya ampun! Astaghfirullahaladzim!" Bude Warsi sontak berteriak, suaranya lebih nyaring dari bunyi kuali di dapur. "Ranti! Pak RT! Lihat ini! Masa Bapak Ketua RT begini! Ini majalah apa ini!"
Pak RT Tarmadi yang sedang bicara dengan panitia di luar langsung pucat pasi. Ia buru-buru menyambar majalah itu. Wajahnya merah padam, bukan karena marah, tetapi karena malu.
"Bude! Jangan begitu! Itu... itu koran bekas, Bude! Jangan sembarangan!" kilah Pak RT, padahal semua orang sudah melihat sampul majalah itu.
Tawa A Fong meledak di pojokan. Ibu-ibu di dapur berhenti mengiris bawang. Keadaan yang tadinya hanya sekadar repot karena resep yang diubah-ubah, kini berubah menjadi aib kampung. Bude Warsi berhasil menciptakan ngrewoki paling dahsyat: merusak reputasi orang lain.
Mbak Ranti menatap Bude Warsi, lalu ke A Fong, dan terakhir ke Pak RT yang masih memegang majalahnya erat-erat. Ia sadar, hajatannya kini dikepung oleh orang-orang yang hanya pandai merepotkan.
"Bude Warsi, A Fong," panggil Mbak Ranti tegas, tetapi suaranya lembut. "Saya sangat berterima kasih atas kedatangan kalian. Tapi, hari ini, saya tidak butuh 'ngrewoki'. Saya butuh 'rewang'."
"Rewang itu membantu tanpa diminta, seperti Pak Lik Karyo yang diam-diam memperbaiki genteng bocor di belakang. Rewang itu mengikuti instruksi, seperti Bu Sri yang bertahan meski masakannya dikomentari. Tapi apa yang kalian lakukan?"
Mbak Ranti menunjuk Bude Warsi. "Bude, ngrewoki karena ingin mengatur dan tahu segala hal. Bahkan sampai membuka aib orang lain."
Lalu ke A Fong. "Koh Fong, ngrewoki karena iseng, menganggap kerepotan orang lain itu lucu."
Dan kepada Pak RT Tarmadi yang tertunduk malu. "Pak RT, maaf, rahasia Bapak terbongkar karena ada orang yang suka ngrewoki urusan orang lain."
Suasana hening. Bude Warsi akhirnya sadar. Tujuannya adalah membantu, tetapi metodenya hanya menimbulkan masalah. A Fong berhenti cengengesan.
"Maaf, Ranti," ucap Bude Warsi pelan. "Bude... Bude benar-benar ngrewoki ya? Maaf, Pak RT."
"Nah," kata Mbak Ranti sambil tersenyum tulus. "Sekarang Bude duduk saja di teras, minum teh, dan menemani Nenek. Itu akan jauh lebih membantu. A Fong, tolong kembalikan semua kursi yang sudah Lik Karyo tata ulang tadi. Lakukan itu dengan niat rewang, bukan ngrewoki."
Hajatan pernikahan akhirnya berjalan lancar keesokan harinya, berkat kerja keras para rewang sejati. Bude Warsi pun menepati janjinya, duduk manis di teras sambil mengipas Nenek, membuktikan bahwa kadang, bantuan terbaik adalah dengan tidak melakukan apa-apa selain memberi dukungan, bukan malah membuat suasana repot dan ngrewoki di mana-mana.
2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI