Mohon tunggu...
teteh_chatay_pasific
teteh_chatay_pasific Mohon Tunggu... kerja di Chatay Pasific aja...

------

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Leily yeeeeee

13 September 2025   17:34 Diperbarui: 13 September 2025   17:34 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laila selalu bilang, nama Leily itu terlalu puitis, terlalu lembut untuk hatinya yang, menurut dia, sekeras batu. Tapi bagiku, nama itu sempurna. Seperti bunga lili yang tangguh namun anggun.
Sudah tiga bulan sejak pesan terakhirnya. Tiga bulan sejak ia memutuskan untuk pergi, meninggalkan jejak-jejak yang kini terasa seperti luka. Kami bertemu di sebuah toko buku, saat ia menertawakan buku puisiku yang isinya terlalu melankolis. Aku tak tahu mengapa, tapi aku langsung jatuh cinta pada tawa itu. Tawanya yang hangat, yang kini hanya menjadi kenangan.
Setiap malam, aku memandangi langit dari jendela kamarku. Dulu, kami sering menghabiskan malam dengan berbaring di taman, menghitung bintang dan bermimpi. Ia bilang, ia ingin membangun sebuah rumah di bawah rasi bintang Orion. Rumah yang penuh dengan buku dan lukisan. Aku percaya itu. Aku benar-benar percaya.
Tapi kini, Orion hanya menjadi pengingat pahit. Pengingat tentang janji-janji yang tak akan pernah terwujud.
Suatu sore, aku memberanikan diri kembali ke toko buku itu. Tempat yang dulu menjadi saksi bisu awal kisah kami. Aku berjalan menyusuri lorong yang sama, mencari-cari buku puisi yang pernah ia ejek. Aku menemukannya. Aku membukanya di halaman yang dulu ia tertawakan.
Sebuah catatan kecil terselip di sana. Tulisan tangannya. "Untuk Leily, sang bunga lili yang tak pernah layu." Jantungku berdetak kencang. Air mataku menetes. Aku tidak tahu, apa yang ia maksud. Mengapa ia meninggalkan catatan ini? Dan mengapa ia pergi?
Aku tahu, rasa sakit ini adalah bagian dari proses. Proses untuk tumbuh. Mungkin benar, hati Leily tidak sekeras batu, tapi ia juga tidak sekuat yang ia kira. Ia hancur. Berkeping-keping.
Aku mengambil buku itu dan membawanya pulang. Malam itu, di bawah rasi bintang Orion, aku membuka buku puisi itu lagi. Aku membaca catatan darinya, dan aku tahu. Aku harus melepaskannya. Aku harus bangkit.
Patah hati bukan tentang melupakan orang yang kita cintai. Tapi tentang menerima bahwa mereka tidak akan kembali. Dan aku harus memulai hidup yang baru. Hidup di mana aku tidak lagi mencari kebahagiaan dari orang lain, melainkan dari diriku sendiri.
Aku tersenyum. Senyum yang terasa sakit, tetapi tulus. Mungkin benar, namaku Leily, seperti bunga lili. Dan bunga lili, meski ia layu, ia akan selalu mekar kembali. Aku tahu, suatu hari nanti, hatiku akan mekar lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun