Cerpen: Pengepungan Terakhir
Pengepungan memasuki hari kelima. Kerajaan Selatan, yang frustrasi dengan kegagalan mereka, melancarkan serangan habis-habisan. Mereka tidak lagi mencoba strategi cerdik, melainkan hanya mengandalkan kekuatan besar pasukan dan senjata mereka yang adidaya. Ribuan prajurit, dengan senjata peledak dan ketapel raksasa, mengepung kota dari segala penjuru.
Di menara pengawas, Dadang mengamati serangan itu. Ia melihat gelombang demi gelombang pasukan musuh, tak kenal lelah, seolah ingin menghancurkan tembok kota hingga rata dengan tanah. Ratu Wu berdiri di sampingnya, wajahnya tegang. "Ini adalah serangan terakhir, Dadang. Jika kita gagal menahannya, semuanya akan berakhir," bisiknya, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Dadang tahu, roket bambu saja tidak akan cukup. Mereka membutuhkan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa membalikkan keadaan dalam satu serangan. Tiba-tiba, ia teringat lagi pelajaran fisika tentang tuas dan katrol. Ia melihat sekeliling, dan matanya tertuju pada sebuah ketapel raksasa milik Dinasti Tang yang sudah lama tidak digunakan.
"Ibu Ratu, kita bisa menggunakan ketapel ini," kata Dadang. "Tapi bukan untuk melontarkan batu."
Ratu Wu menatap Dadang dengan bingung. "Lalu, untuk apa?"
"Untuk melempar roket!" jawab Dadang dengan mata berbinar. Ia menjelaskan rencananya: menggunakan ketapel raksasa untuk melontarkan roket bambu dalam jumlah besar secara bersamaan, menciptakan serangan roket yang tak terduga dan mematikan.
Dengan arahan Dadang, para prajurit segera memodifikasi ketapel. Mereka membuat wadah khusus untuk menampung puluhan roket, lalu memasang sumbu panjang yang terhubung ke setiap roket. Ketika semua sudah siap, mereka menunggu waktu yang tepat.
Malam harinya, ketika pasukan Kerajaan Selatan sedang beristirahat, Ratu Wu memerintahkan serangan. Di atas benteng, ketapel raksasa diluncurkan. Puluhan roket bambu melesat bersamaan, menciptakan hujan api yang tak terduga. Roket-roket itu mendarat tepat di perkemahan musuh, menciptakan ledakan dan kebakaran yang menyebar dengan cepat.
Kepanikan melanda pasukan musuh. Jenderal Ma, yang melihat pasukannya hancur berantakan, sadar bahwa ia telah kalah. Ia memerintahkan pasukannya untuk mundur, meninggalkan perkemahan yang kini dilalap api.
Keesokan harinya, matahari terbit, dan pengepungan telah usai. Kerajaan Selatan telah pergi, meninggalkan kota yang damai. Ratu Wu mendekati Dadang dan memeluknya. "Kau telah menyelamatkan kerajaanku, Dadang," katanya, air mata haru menetes di pipinya. "Kau adalah pahlawan yang tidak pernah kuduga."
Dadang tersenyum. Ia hanya seorang anak SD, yang bermimpi tentang masa depan dan berharap bisa pulang. Namun, ia tahu, pengalamannya di sini telah mengubahnya selamanya. Ia kini seorang pahlawan, bukan hanya bagi Ratu Wu, tetapi juga bagi dirinya sendiri.
Apakah kamu ingin tahu bagaimana Dadang kembali ke zamannya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI