Mohon tunggu...
diajeng_google
diajeng_google Mohon Tunggu... kerja di Chatay Pasific aja...

------

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku

7 September 2025   03:17 Diperbarui: 7 September 2025   03:17 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalan Cempaka itu sepi, hanya diterangi oleh lampu jalan yang berkedip-kedip. Di salah satu sudutnya, ada sebuah toko buku tua bernama "Pena Senja". Toko itu bukan tempat yang ramai dikunjungi, tapi bagi Elara, toko itu adalah surga. Dindingnya penuh dengan rak-rak kayu yang menjulang tinggi, dijejali buku-buku lama yang baunya khas; perpaduan antara kertas usang, debu, dan cerita-cerita yang telah lama tersimpan.
Pemiliknya adalah Pak Aris, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih. Dia jarang berbicara, tapi matanya selalu memancarkan kehangatan saat melihat Elara datang. Bagi Elara, Pak Aris bukan hanya penjual buku, melainkan penjaga gerbang menuju dunia-dunia lain.
Malam itu, hujan turun rintik-rintik, membuat suasana di toko semakin syahdu. Elara berjalan perlahan di antara lorong-lorong buku, menggeser jari-jarinya di sampul-sampul usang, mencari buku yang entah bagaimana, memanggil namanya.
Tiba-tiba, pandangannya jatuh pada sebuah buku yang terselip di rak paling atas. Buku itu tidak memiliki judul yang jelas, hanya sampul berwarna cokelat kusam yang dihiasi gambar sebuah kunci tua. Elara meraihnya. Saat ia membukanya, tidak ada tulisan di dalamnya. Hanya halaman-halaman kosong yang menguning.
"Buku ini... aneh, ya," gumam Elara.
Pak Aris, yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya, tersenyum. "Itu buku yang istimewa. Itu bukan buku untuk dibaca, tapi untuk ditulis."
Elara mengerutkan dahi. "Ditulis?"
"Ya," jawab Pak Aris lembut. "Setiap orang punya cerita yang belum ditulis. Buku itu kosong karena ceritamu belum selesai. Kunci di sampulnya adalah simbol bahwa kamu memegang kunci untuk membuka bab-bab baru dalam hidupmu sendiri."
Elara membalik-balik halaman kosong itu. Ia merasa ada dorongan aneh, sebuah bisikan lembut yang menyuruhnya untuk mengambil buku itu. "Berapa harganya, Pak?"
"Buku itu tidak dijual," kata Pak Aris. "Tapi saya akan memberikannya padamu. Hanya dengan satu syarat: kamu harus mengisi setiap halamannya dengan cerita-cerita yang layak untuk dibaca. Jadikan hidupmu petualangan, Elara."
Elara menerima buku itu dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak tahu mengapa, tapi kata-kata Pak Aris terasa sangat personal. Malam itu, Elara pulang dengan buku kosong di tangannya, merasa seperti ia baru saja menerima sebuah hadiah yang paling berharga.
Minggu-minggu berlalu. Elara membawa buku itu ke mana pun ia pergi. Ia mulai menulis hal-hal kecil di dalamnya; tentang senja yang indah, percakapan dengan orang asing di bus, atau bahkan mimpi aneh yang ia alami. Lambat laun, halaman-halaman kosong itu mulai terisi, menjadi saksi bisu dari setiap momen kecil yang berharga dalam hidupnya.
Suatu hari, Elara memutuskan untuk mengunjungi toko Pak Aris lagi untuk berterima kasih. Namun, toko itu sudah tutup. Sebuah papan kecil tergantung di pintu: "Toko Buku Pena Senja, Ditutup Selamanya." Hati Elara terasa hampa. Ia mencoba mencari tahu keberadaan Pak Aris, tapi tidak ada yang tahu. Seolah-olah Pak Aris dan tokonya adalah ilusi yang hanya ada untuk memberinya buku itu.
Elara merasa sedih. Ia merindukan aura damai Pak Aris dan rak-rak buku yang penuh cerita. Namun, saat ia melihat buku kosongnya yang kini sudah terisi separuh, ia tersenyum. Pak Aris memang sudah tiada, tapi warisannya tetap hidup di tangannya.
Elara kini mengerti. Buku itu bukan hanya tentang menulis, tapi tentang keberanian untuk menjalani hidup dengan sepenuh hati, melihat keindahan di setiap detail, dan menyadari bahwa cerita terpenting dalam hidup adalah yang kita tulis sendiri, setiap hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun