Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hanya Satu Jenderal di Medan Laga

12 April 2014   04:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jenderal maju medan laga peperangan, mungkin biasa saja, sebab memang seperti itu tugas seorang tentara. Tapi bagaimana kalau seorang Jenderal maju ke medan laga politik. Mungkin biasa, mungkin juga luar biasa. Tapi, medan politik, bukanlah medan tempur yang berbau mesiu. Ini medan, yang acapkali menghalalkan segala cara, pakai intrik dan manipulasi. Jadi, bukan perkara mudah, seorang Jenderal bisa menaklukan medan politik.
Dia, tak lagi memimpin bala pasukan serdadu. Bukan lagi batalion tentara yang jadi andalannya. Tapi perahu 'perang' bernama partai politik. Syarat lainnya, dia sudah harus purna tugas alias purnawirawan.
Panggung politik di tanah air pun, mencatatkan kiprah para Jenderal yang mencoba bertempur di medan laga itu. Namun memang, panggung politik selalu saja menarik minat para pensiunan Jenderal untuk turun gelanggang. Bukan lagi dengan menenteng pistol dipinggang, atau dengan kokangan senjata. Tapi maju dengan seberapa besar popularitas dan elektabilitas yang dimiliki. Tentunya plus juga dana. Tiga itu, adalah senjata utama sang Jenderal, agar bisa menang di medan laga.
Sejarah republik ini pun memang banyak berisikan jejak-jejak Jenderal di panggung kekuasaan. Sebut saja almarhum Jenderal Besar Soeharto yang begitu lama menjadi penguasa di negeri ini. Selama 32 tahu, Pak Harto sukses membangun rejimnya. Kemudian, Jenderal Besar itu pun dipaksa lengser di usia sepuh oleh gerakan massa bernama reformasi.
Setelah itu, ia digantikan wakilnya, Pak BJ Habibie, seorang teknokrat jempolan di dunia kedirgantaraan. Tapi usia kekuasaan Pak Habibie yang bukan Jenderal tak berlangsung lama. Oleh sidang Istimewa MPR, pertanggungjawabannya ditolak. Alhasil mandatnya pun dicabut. Lalu, setelah itu terpilih Abdurahman Wahid, kyai darah biru keturunan pendiri Nahdlatul Ulama. Terpilihnya Gus Dur, panggilan akrab sang kyai tersebut, sangat dramatis. Ia menyingkirkan Ibu Megawati Soekarnoputri, seorang ibu rumah tangga yang menjadi politisi. Ibu Mega juga bukan orang sembarangan, ia adalah putri kandung salah seorang pendiri Republik, Soekarno, Presiden RI pertama yang juga proklamator.
Kyai Gus Dur terpilih, Ibu Mega pun harus puas sebagai RI-2. Tapi, kisah politik adalah cerita tentang segala intrik. Kyai Gus Dur pun kemudian dilengserkan setelah sekian lama memelihara permusuhan dengan DPR. Partainya PKB, tak begitu kuat menahan laju dari seteru Gus Dur. Lewat sidang di MPR, mandat Gus Dur dicabut, walau ia sempat mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen, tapi tak bertaji.
Ibu Mega pun naik tampuk. Wakilnya dipilih dari rumah Ka'bah, Pak Hamzah Haz. Di era Ibu Mega, pemilihan presiden dilangsungkan secara langsung untuk pertama kali. Ibu Mega sebagai petahana maju bersama Kyai Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu. Lawan Ibu Mega, adalah Pak Susilo Bambang Yudhoyono atau Pak SBY, seorang Jenderal bintang empat, mantan anak buah Ibu Mega di kabinet. Pak SBY di kabinet yang dipimpin Ibu Mega, pernah menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Pak SBY maju dengan menggandeng Pak Jusuf Kalla, atau Pak JK, yang juga mantan anak buah Ibu Mega di kabinet. Pak JK, sebelum jadi teman duetnya Pak SBY menjabat sebagai Menko Kesejahteraan Rakyat.
Jenderal lain yang maju medan laga, adalah Jenderal Purnawirawan Wiranto. Pak Wiranto itu, adalah Panglima TNI terakhir di era Soeharto. Di militer, Pak Wiranto ini, adalah atasannya Pak SBY, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Staf Politik TNI atau Kasospol. Di Pilpres, Pak Wiranto merangkul Solahuddin Wahid atau Gus Solah, adik kandung Kyai Gus Dur.
Pak Wiranto, maju ke gelanggang setelah ia menang dalam konvensi capres Partai Golkar. Bersama Gus Solah, ia mengibarkan bendera beringin. Jenderal satunya lagi yang maju medan tempur politik adalah Jenderal Agum Gumelar. Pak Jenderal Agum ini juga adalah mantan anak buah Ibu Mega. Ia sebelum maju menjabat Menteri Perhubungan. Di Pilpres, Pak Agum mendampingi Pak Hamzah Haz sebagai cawapresnya. Sementara Pak Hamzah, adalah capresnya. Mereka berdua maju dengan bendera PPP.
Pasangan calon lain, bukan kombanisasi gado-gado, sipil-militer. Tapi, duet sipil dan sipil. Duo sipil ini adalah Pak Amien Rais dan Pak Siswono Yudhohusudo yang diusung PAN. Artinya dari empat pasangan calon itu, terdapat tiga Jenderal penuh yang maju medan laga. Dan yang jadi pemenangnya adalah Pak SBY dan Pak JK. Maka naiklah Pak SBY, Jenderal purnawirawan bintang empat sebagai Presiden RI pertama yang dipilih secara langsung, bersama Pak JK yang jadi Wakil Presidennya.
Sementara pada Pilpres 2009, Pak SBY, Presiden yang juga mantan Jenderal kembali maju. Tapi kali ini, ia tak lagi menggandeng Pak JK. Pak SBY maju gelanggang bersama Pak Boediono, Profesor Ekonomi jebolan Universitas Gadjah Mada. Di gelanggang Pilpres 2009, Pak SBY kembali mendapat pesaing dari mantan tentara. Pesaing pertama Pak Wiranto, pensiunan Jenderal bintang empat, yang maju bersama Pak JK, kawan duet Pak SBY di Pilpres sebelumnya. Kali ini, Pak Wiranto tak lagi berstatus capres, tapi cawapresnya Pak JK, setelah partainya, Partai Hanura memutuskan bergabung dengan Golkar.
Pesaing kedua, adalah Pak Prabowo Subianto, pensiunan Jenderal bintang tiga alias Letnan Jenderal. Pak Prabowo ini, semasa masih jadi tentara, ia pernah menjadi Panglima Kostrad. Sebelumnya, ia adalah Komandan Jenderalnya Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan elitnya TNI-AD. Bersama Ibu Mega, Pak Prabowo pertama kali mencicipi medan laga politik. Hasilnya, kembali Jenderal SBY yang jadi pemenang.
Kini, menjelang Pilpres, para mantan Jenderal kembali turun gelanggang. Mereka saling bersiasat mendapat tempat dan tiket capres di tubuh partai. Partai pun berpikir keras meracik strategi, agar dapat capres idaman yang punya kans untuk menang. Partai Demokrat misalnya, membuat panggung sendiri untuk menjaring capres idaman. Panggung itu diberinama konvensi penjaringan capres. Sederet nama ikut serta. Dua diantaranya adalah mantan Jenderal bintang empat. Pertama, adalah Jenderal Purnawirawan Endiartono Sutarto. Pak Tarto ini, mantan Panglima TNI. Jenderal bintang empat yang maju konvensi adalah Pak Pramono Edhie. Dia mantan orang nomor satu di TNI-AD. Pak Pramono juga pernah jadi Komandan Jenderalnya Kopassus. Di Demokrat, Pak Pramono juga punya hubungan khusus dengan pendiri partai tersebut, yakni Pak SBY. Pak Pramono tak lain adalah adik iparnya Pak SBY atau adik kandungnya Ibu Ani Yudhoyono, istri dari Pak SBY.
Sementara bakal capres bintang dari partai lain, adalah Pak Wiranto. Pensiunan Jenderal bintang empat ini, tidak mau memadamkan ambisi bisa jadi Presiden, setelah gagal di Pilpres 2004 dan 2009. Kali ini Pak Wiranto, mencoba maju lewat Partai Hanura. Sebagai bakal cawapresnya didaulat Pak Hary Tanoesoedibjo, seorang konglomeret, pemilik beberapa stasiun televisi yang baru saja pindah partai. Partai Pak Hary sebelumnya adalah NasDem, yang sekarang diketuai oleh Pak Surya Paloh.
Calon bintang lainnya yang berambisi maju, adalah Pak Prabowo. Setelah gagal bersama Ibu Mega di Pilpres 2009, pensiunan Letnan Jenderal ini langsung menggeber ambisinya menuju Senayan. Perahu yang diandalkannya masih Partai Gerindra.
Mantan serdadu yang juga berambisi maju adalah Bang Yos, nama lain dari Pak Sutiyoso. Pak Sutiyoso ini, mantan Gubernur Jakarta. Tapi sebelum jadi Gubernur, Pak Sutiyono pernah menjadi Pangdam Jaya. Karir ketentaraannya banyak dihabiskan di satuan elit Kopassus. Pangkat terakhir Pak Sutiyoso, adalah Letnan Jenderal atau Jenderal bintang tiga.
Saat Pak Sutiyoso jadi Pangdam Jaya, Pak SBY adalah anak buahnya. Presiden dua periode itu, adalah eks Kepala Staf Kodam Jaya. Partai yang jadi kendaraan Pak Sutiyoso menuju Istana, adalah PKPI yang juga diketuainya.
Pemilu legislatif pun tiba. Pada 9 April 2014, sebagian besar pemilih yang sudah terdaftar menunaikan hak pilihnya di balik bilik-bilik suara di masing-masing Tempat Pemungutan Suara di daerahnya. Hasil resmi penghitungan suara memang masih lama untuk diumumkan. Mungkin kurang lebih sebulan lagi, KPU akan mengumumkan semua hasil rekapitulasi suara.
Tapi hasil hitung cepat versi lembaga survei sudah dipublikasikan. Hasilnya PDI-P meraih suara 19 persenan, disusul Golkar dengan 14 persenan suara, lalu Gerindra, 12 persenan, berikutnya Demokrat, 9 persenan di bawahnya secara berurutan adalah PKB, 9 persenan suara, PAN, 7 persenan suara, NasDem, 6 persenan suara, PKS, 6 persenan suara, PPP juga dengan 6 persenan suara, lalu Hanura, 5 persenan suara, PBB hanya satu persenan dan diurutan buncit, PKPI, cukup puas dengan raihan nol persen koma sekian suara.
Maka kalau melihat klasmen terakhir perolehan suara menurut hitung cepat lembaga survei, tiga partai bakal jadi motor koalisi. Tiga partai itu, adalah PDI-P, Golkar dan PDI-P. Tapi tak tertutup kemungkinan partai di bawahnya membuat koalisi sendiri. Kenapa harus koalisi? Karena memang tak ada partai yang dominan. Banteng moncong putih sebagai jawara, raihan suaranya hanya 19 persenan.
Sementara syarat untuk memajukan capres dan cawapres, partai mesti punya tabungan suara sah nasional sebanyak 20 persen. Atau dia meraih 25 persen dari total kursi yang disediakan di Senayan. Jadi, dari 12 partai peserta pemilu, tak ada satu pun yang memenuhi syarat. Koalisi dengan partai lainnya pun tak terhindarkan. Partai yang akan mengusung atau sudah punya capres, mesti menggenapi syarat itu bila memang ingin maju ke medan laga, 9 Juli nanti.
PDI-P, menjadi partai yang paling berpeluang memajukan capres. Partai yang dinakhodai Ibu Mega ini, cukup menggandeng satu partai saja, sudah bisa menyorong calon. Kini PDI-P, sudah punya capres sendiri yakni Mas Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang juga pernah jadi Wali Kota Solo. Tapi Mas Jokowi, bukanlah tentara. Dia sipil tulen.
Partai lain yang punya peluang memajukan calon adalah Golkar. Partai yang sudah mengusung Pak Aburizal Bakrie atau Pak Ical sebagai capresnya ini hanya butuh tambahan dukungan dari dua atau tiga partai. Pun, Partai Gerindra. Berada di urutan tiga besar, peluang bagi Pak Prabowo maju Pilpres sangat besar. Partai yang dibesutnya cukup merangkul dua atau tiga partai, maka dia sudah bisa maju ke medan laga. Ya, seperti itulah hitung-hitungan kasarnya.
Sementara Demokrat, meski masih punya peluang, tapi kansnya kecil. Raihan 9 persen suara, cukup berat untuk digenapi hingga 20 persen. Konvensi penjaringan capres Demokrat pun nasibnya kian tak jelas. Alhasil, dua Jenderal yang ikut di konvensi itu, yakni Pak Pramono dan Pak Tarto, nasibnya juga ikut tak pasti, apakah bisa maju ke medan laga, atau justru berhenti di tengah jalan.
Nasib buruk juga dialami Jenderal lainnya, yakni Pak Wiranto dan Pak Sutiyoso. Partai Pak Wiranto, menurut hasil hitungan cepat hanya meraup 5 persenan suara, cukup berat untuk bisa memenuhi syarat pencapresan sebesar 20 persen. Yang lebih parah, adalah partainya Pak Sutiyoso, PKPI, yang hanya mendulang nol koma sekian suara.
Maka mungkin, hanya akan satu Jenderal yang mampu maju ke medan laga Pilpres 2014. Jenderal yang punya kans untuk maju itu, adalah Pak Prabowo Subianto, pensiunan Jenderal bintang tiga. Kita tunggu, apakah Pak Prabowo bisa seperti pendahulunya Pak SBY, pensiunan jenderal yang bisa masuk ke Istana? Atau hasilnya lain, Mas Jokowi atau Pak Ical yang justru menang. Kita tunggu saja...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun