Dalam siaran persnya juga Alfonso mengungkapkan, intervensi terus dilakukan hingga dilimpahkannya penyidikan dari Dittipidum Bareskrim ke Dittipideksus Bareskrim Subdit Perbankan. Pihak Dittipidum kata Alfonso, tetap bertahan dengan apa yang diperiksa.
"Ini sesuai dengan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Nomor B/220-Subdit-I/V/2015/Dittipidum, tanggal 8 Mei 2015,"ujarnya.
Pada akhirnya lanjut Alfonso, pihak Dittipideksus Bareskrim mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidiikan atau SP3. Surat itu bernomor :S.Tap/55b/VII/2015/Dit Tipideksus, tanggal 1 Juli 2015. Ini sesuai Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan Nomor : B/56/VII/2015/Dit Tipideksus, tanggal2 Juli 2015.
Setelah diterbitkannya SP3 itu, kata Alfonso, pihaknya melakukan upaya hukum Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dan itu telah diputus oleh Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Putusan Nomor : 70/Pid.Pra/2015/PN.Jkt.sel, tanggal 18 Agustus 2015. Isi putusan praperadilan tersebut, mengabulkan permohonan pemohon. Serta menyatakan SP3 tidak sah. Hakim juga memerintahkan termohon melanjutkan penyidikan selanjutnya melimpah kembali berkas perkara tindak pidana ke Kejaksaan Agung.
"Serta membebankan kepada termohon untuk membayar biaya perkara sebesar nihil," kata Alfonso.
Alfonso menduga penyidik di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Subdit Perbankan tidak mempunyai kualifikasi dan kemampuan untuk menangani perkara Direktorat Tindak Pidana Umum. Alfonso melihat penanganan kasus yang dibuka kembali oleh Dittipideksus Bareskrim, proses penanganannya penuh dengan kejanggalan. Ia menduga ada kepentingan di luar hukum yang memihak tersangka Tjipta Fudjiarta dengan tidak memperhatikan alasan-alasan pertimbangan hukum seperti yang tertuang dalam putusan praperadilan.
"Pada tanggal 10 Desember 2015, tersangka Tjipta Fudjiarta melalui kuasa hukumnya mengajukan Praperadilan ke PN Jakarta Selatan dan telah diputus oleh hakim," katanya.
Hakim praperadilan yang menyidangkan permohonan Tjipta, kata Alfonso, dalam putusannya dengan jelas menolak permohonan praperadilan dari pemohon. Tersangka Tjipta Fudjiarta merasa tidak puas dan menduga ada penyeludupan hukum oleh Hakim PN Jakarta Selatan. Tjipta kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK).
"Pada 22 Februari 2016, karena merasa tidak mempunyai bukti yang kuat untuk mengajukan PK, tersangka Tjipta Fudjiarta melalui kuasa hukumnya mencabut itu," kata Alfonso.
Hal itu dibuktikan, ujar Alfonso dengan surat atas surat yang ditujukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beromor.: 006/TMR-ADM/II/2016. Apa yang diputuskan hakim sudah sesuai prosedur. Dan tidak ada penyeludupan hukum.
"Apa yang kami utarakan sudah sangat jelas dan terang benerang dugaan kami penyidik bersama tersangka Tjipta Fudjiarta berusaha ingin menghentikan perkara BCC Hotel," katanya.