Dan akumulasi dari pelbagai proses kebaikan yang ia jalani itu adalah ia pun telah bertransformasi sepenuhnya menjadi seorang baik yang bahkan berani melawan kejahatan. Sebuah keadaan yang belum tentu semua orang memilikinya.Â
Kemudian, jika kita membawa dua kisah fiksi tersebut untuk mengaca pada fenomena di sekeliling kita, saya menjadi tertarik untuk menyajikan tiga poin pertanyaan yang boleh dijawab, sekadar dibaca, atau diabaikan begitu saja.
Pertama, kira-kira apakah rasa humanisme bagi seorang penjahat itu benar-benar ada dalam kehidupan nyata?Â
Kedua, bagaimana cara untuk membuktikan sisi humanisme itu benar-benar telah mereka miliki?Â
Ketiga, seperti halnya gambaran pada film yang saya sebutkan tadi, dapatkah kiranya sisi humanisme itu diberdayakan untuk menginsafkan seseorang sehingga mereka pun menjadi insan yang benar dalam berperilaku kehidupan?Â
Jika Anda berkenan untuk menjawab ketiga hal ini, Anda dapat menjawabnya pada kolom komentar di bawah. Atau jika ingin menguraikannya dengan lebih leluasa, juga boleh mengulasnya pada artikel tersendiri.
Namun, jika Anda tidak sempat atau tidak berkeinginan untuk menjawabnya pun tidak masalah bagi saya. Sebab, dalam tulisan ini saya hanya ingin sekadar berbagi cerita.
