Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Pendekar dan Jalan Sunyi Pilihannya

29 Agustus 2020   04:45 Diperbarui: 29 Agustus 2020   04:47 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay

Entah kenapa, saya selalu saja menyukai film tentang kisah-kisah pendekar yang memilih jalan sunyi. Pendekar yang mengasingkan dirinya dari dunia persilatan sekalipun jika menampakkan diri ia akan langsung menjadi kesohor.

Saya berasumsi pendekar tipe ini merupakan sosok yang berhati-hati dalam mendayakan kekuatannya agar tidak sampai salah sasaran. 

Kesadaran seorang pendekar akan kemampuan dirinya sepatutnya memang beriringan dengan upayanya untuk menggali eksistensi diri atas segenap kelebihan itu. 

Jika kita contohkan pada kisah yang rada modern, barangkali kita akan menemukan sebuah petuah dari Paman Ben, pamanda dari Peter Parker sebelum dadanya sempat tertembus peluru, yakni, "Dalam kekuatan yang besar terdapat tanggung jawab yang besar." 

Dan barangkali, pesan sederhana penuh makna inilah yang kemudian menginspirasinya menjadi jagoan cum pahlawan dengan menyamarkan jati dirinya sebagai seorang 'pendekar' manusia laba-laba, Spiderman. 

Selain sosok Spiderman itu, tentu kita akan mendapatkan berderet nama hero lainnya yang kita kenal selalu berusaha menutup jati dirinya, misalnya saja: Batman, Zoro, hingga sosok Pangeran Dae Jeong-hyun dalam Film The Shadowless Sword.


Dan jika ingin menyebutkan nama superhero lebih dari ini, Anda dapat menyebutkan sendiri nama-nama hero, jagoan, ataupun pendekar favorit Anda.

***

Pada umumnya, para 'pendekar' itu menutup jati dirinya dengan memakai topeng saat ia beraksi. Atau, jika meniru cara dari Pendekar Jeong, ia juga dapat menggunakan 'topeng sosial' dengan menyamarkan jati dirinya sebagai jalan untuk mengakrabi rakyat jelata sambil menjalani hidup secara nomaden agar tak sempat dikenal oleh orang lain. 

Dan selanjutnya, dalam tulisan ini, saya ingin fokus membahas sosok Pendekar Jeong dalam film kolosal Korea yang ber-setting kerajaan kuno itu. 

Dalam kisahnya, Pendekar Jeong digambarkan sebagai pangeran-pendekar yang mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia kerajaan dan persilatan demi menghindari terjadinya perang saudara. 

Selain itu, alasan Jeong lebih memilih untuk mengembarai kehidupan sederhana sebagai rakyat biasa adalah agar ia benar-benar dapat merasakan apa yang terjadi pada rakyatnya di tengah kacaunya situasi kerajaan. 

Setelah membaur dengan rakyatnya itu, hati pangeran begitu miris begitu tahu kondisi dapur mereka yang sangat memprihatinkan.

Kebutuhan hidup banyak yang tak terpenuhi akibat minimnya pendapatan. Ia sama sekali tidak menduga di balik tembok istana yang megah, kokoh dan penuh suka cita terdapat kondisi kehidupan yang rapuh di baliknya. 

Demi membantu kondisi rakyat yang serba kekurangan itu, sesekali, ia pun mencuri atau merampok demi mencukupi kebutuhan dasar orang-orang yang termiskinkan akibat rezim kerajaannya---agak mengingatkan kita dengan cara serupa yang ditempuh oleh Robinhood.

Waktu itu, pihak kerajaan tak mampu memerhatikan kondisi penduduknya dengan baik sebab hanya fokus berperang demi merebutkan kekuasaan. 

Dan sebagai penebus atas rasa bersalahnya yang seakan memikul dosa sosial itu, maka Pengeran Jeong pun berkomitmen untuk mengabdikan diri pada rakyatnya tanpa sepengetahuan mereka. 

Dia lebih memilih meninggalkan kerajaannya yang tampak begitu nyaman namun sesungguhnya dibangun oleh upeti, keringat, dan penderitaan rakyatnya.

Entah telah berapa lama pendekar Jeong mengasingkan dan menutup diri dari kehidupan kerajaan, hingga ia pun lupa dengan fatamorgana kenikmatan di dalamnya. Bahkan lebih dari itu, ia juga sempat lupa dengan kedigdayaan ilmu silatnya sendiri akibat telah lama tak terasah dan terpakai. 

Beruntunglah Pangeran Jeong, sebab dalam pengasinganya itu ia dipertemukan dengan sosok pendekar-prajurit perempuan Yeon So-ha yang hendak membujuknya kembali ke kerajaan untuk menduduki tahtanya. Sebuah tempat bergengsi yang kali ini mau tak mau harus ia tempati setelah penerus kerajaan hanya menyisakan dirinya seorang. Sebab, seluruh anggota pewaris tahta lainnya telah dibunuh oleh prajurit khusus, suruhan oknum kerajaan yang berambisi menduduki kursi kerajaan. 

Pada awalnya, Pangeran Jeong sempat menolak usulan So-ha untuk kembali ke istana, sebab ia telah merasa nyaman dengan pilihan jalan sunyinya dengan membaur bersama rakyat.

Namun, sebab ia merasa tiada pilihan lain untuk menjaga stabilitas keamanan kerajaan kecuali dengan memimpinnya, akhirnya ia pun menuruti permintaan sosok pendekar yang mengagumi dirinya sedari kecil itu.

Dalam kisah masa lalunya, So-ha kecil pernah ditolong oleh pangeran Jeong di tengah kerusuhan di kampungnya. Bahkan lebih dari itu, ia juga sempat belajar teknik dasar seni berperang dengan bersenjatakan pedang dari Jeong. Sejak saat itulah, So-ha menjadi sangat mengagumi Jeong dan bervisi menjadi pendekar hebat sekaliber dirinya. 

***

Dalam perjalanannya menuju kerajaan, Pengeran Jeong dan prajurit So-ha mengalami situasi yang tidak mudah, sebab dikuntit oleh pasukan khusus yang hendak menghabisi nyawa mereka. Mau tidak mau mereka pun harus berhadapan dan berperang dengan seluruh pasukan bayaran itu agar sampai ke lokasi kerajaan. 

Dalam pertarungan itu, Pendekar So-ha berusaha mati-matian demi melindungi nyawa sang pangeran yang belum mampu me-move on-kan kekuatannya yang telah lama terpendam itu.

Hal ini biasa terjadi pada seorang pendekar, sebab setelah sekian tahun ia tak pernah berlatih kanuragan dan berhadapan dengan para pendekar hebat, bisa saja otot-otot sang pendekar itu menjadi kaku dan diperparah dengan macam variasi jurus yang sudah mulai terlupa. Dan, barangkali inilah yang menyebabkan chi (tanaga dalam) dari sang pangeran itu pun sebagian masih terkunci. 

Setelah Pendekar Jeong melakukan 'pemanasan' dengan menghadapi satu-dua pasukan dan menaklukkan beberapa pendekar kelas medioker dengan tertatih-tatih, barulah aliran chi-nya berangsur memulih seiring melemasnya otot-otot yang tak pernah ia latih. Itulah momen terbukanya tabir kekuatan tersembunyi dari sang pangeran untuk bekal menghadapi seluruh penjahat kerajaan.

Seiring berangsur pulihnya kekuatan sejati sang pangeran itu, musuh pun dapat ia kalahkan satu per satu, yang kemudian juga menyebabkan tewasnya sang pemimpin pasukan itu, Gun Hwa-pyung.

Usai peperangan itu, sang pangeran tampak terlihat lega hatinya sebab ia mampu menghabisi semua lawannya. Namun, kelegaan yang harus ia tebus dengan mahar yang teramat mahal, sebab kehilangan nyawa prajurit pilihannya, So-ha. Di bawah ratapannya, sang prajurit pilihan tulus hati itu telah menuntaskan misinya dengan kegemilangan. 

Usai pertempuran itu, Pendekar Jeong pun kembali menampakkan jati dirinya dan menerima takdirnya sebagai penerus tahta kerajaan agar situasi kerajaan menjadi lebih aman dari ancaman pasukan pemberontak. 

Dan dari sepenggal kisah film ini, kiranya kita dapat menyimpulkan bahwa sosok pendekar hebat adalah siapa saja yang mampu menutup jati diri yang sebenarnya, sehingga orang pun akan mengenalnya bukan karena eksistensi pencitraan dirinya maupun label namanya. Namun, karena pengabdian dan pengorbanannya atas manusia lainnya.

Selain itu, dari penggalan kisah film ini kita pun kiranya akan menyadari bahwa tidak selamanya seorang pendekar itu harus menutupi jati dirinya dengan terus bersembunyi dari riuh rendahnya kehidupan. Ada kalanya ia harus berani untuk menampakkan diri demi membela segala bentuk penindasan. 

Jadi, menyembunyikan diri, dalam konteks kehidupan yang lebih luas, tak lagi dipandang sebagai upaya untuk menyembunyikan rupa di balik topeng penyamar identitas, seperti yang dilakukan oleh hero konvensional itu. Namun, ia pun dapat diwujudkan dengan tidak mengumbar jasa pengorbanan ke khalayak demi mengharap popularitas dan mencium bau amis kekuasaan. 

Dan sebenarnya kita tidak usah jauh-jauh memetik kisah hikmah dari pendekar di negeri orang, sebab khazanah pendekar di negeri kita pun tak kalah luhur dengan ajaran filosofis mereka.

Seperti ajaran yang mereka pedomani dengan; sepi ing pamrih rame ing gawe--tak terlalu menuntut hak bayaran sebab terlalu fokus dengan pekerjaan. Mereka bekerja dengan sebaik-baiknya dan memasrahkan kebaikan untuk diri mereka mengalir dengan sendirinya. 

Nah, kira-kira masih adakah stok 'pendekar' yang memedomani filosofi macam itu? Jika masih ada, marilah kita berguru pada keluhuran budi mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun