Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

DKI Mendobrak Tradisi Otonomi Daerah

2 November 2012   18:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:03 2198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terpilihnya Jokowi-Ahok dalam pemilihan gubernur DKI membuat paradigm baru tentang  semangat otonomi daerah yang bergulir pasca 1999. Jokowi yang fenomenal  merebut hati  penghuni  ibukota negeri ini benar-benar  melengkapi  terhapusnya  ketabuan untuk tetap mengusung putra daerah sebagai pemimpin suatu daerah.

Meskipun lawannya  juga tidak murni putra daeran, namun setidaknya membuka cakrawala baru bagi banyak daerah yang banyak memaksakan mencalonkan putra daerahnya meskipun kompetensinya tidak mencukupi untuk menjadi seorang kepala daerah. Akibatnya, kini banyak kabupaten baru yang tidak terurus karena pemerintah yang  terbentuknya tidak memiliki kompetensi yang cukup, meski  tujuan otonomi sudah tercapai, yaitu mendekatkan pemerintah dengan wilayahnya.

Undang-undang tentang pemerintahan daerah memang tidak mengharamkan calon pemerintah daerah berasal dari luar wilayahnya. Tetapi  kenyataannya ini sering kali menjadi persyaratan tidak tertulis yang dilakukan dalam pemilihan kepala daerah.  Apalagi beberapa daerah dipaksa dimekarkan karena selain hanya  sekedar mengeksplore danak alokasi khusus, juga karena  ada putra daerahnya yang “kebelet” ingin segera menjadi bupati atau gubernur.

Pada sisi lain, pemaksaan putra daerah untuk menempati jabatan tertentu juga menimbulkan kelucuan dalam pembentukan sistem pemerintahan daerah, terutama di daerah baru hasil pemekaran. Banyak   guru SMP yang  tiba-tiba diangkat jadi kepala dinas di sebuah kabupaten, yang selanjutnya kebingungan karena biasanya mengajar tiba-tiba tiba harus memimpin sebuah instansi teknis.  Mengapa guru? karena ia mempunyai jenjang kepangkatannya lebih  cepat dibanding jalur  PNS lainnya  sehingga ketika suatu daerah baru dimekarkan  menginventarisasi  jumlah PNS putra daerahnya, maka para guru itulah yang pangkatnya lebih tinggi sehingga secara aturan layak mendapat jabatan lebih tinggi yaitu kepala dinas.

Tindakan KPUD DKI boleh jadi  kini merupakan sindiran yang pedas bagi daerah-daerah yang baru mekar.  Jika dari awal KPU DKI  tidak menghendaki pemimpin dari luar DKI, tentunya pencalonan Jokowi-Ahok akan terjegal sebelum mendaftaran. Tapi kenyataannya tidak, sampai akhirnya ia memenangkan pilkada tersebut dan kini Jokowi –Ahok menjadi DKI-1 dan DKI-2.

Keberhasilan Jokowi memimpin Jakarta memang masih ditunggu. Program  kerja 100 harinya saja belum setengahnya ia lalui. Namun kemenangan Jokowi di DKI benar-benar merupakan contoh bagi daerah lain bahwa penduduk luar  tidak haram untuk memimpin suatu daerah. Memilih  pemimpin yang  putra daerah tentu akan lebih baik selama yang bersangkutan memiliki kapasitas sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya.

Apakah kedua orang fenomenal tersebut akan berhasil membangun Jakarta?  Jika iya, kepemimpinan beliau tentunya akan menginspirasi daerah-daerah  untuk menempatkan pemimpin yang benar-benar berdasarkan kapasitasnya sebagai pemimpin.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun