Mohon tunggu...
Maman Imanulhaq
Maman Imanulhaq Mohon Tunggu...

Ketua Lembaga Dakwah PBNU, Anggota DPR RI Periode 2014-2019, pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka, penulis buku "Fatwa dan Canda Gus Dur" dan Antologi Puisi "Kupilih Sepi".Email:kang_maman32@yahoo.com, Twitter; @kang_maman72. Ketik: Kyai Maman>kangmaman100’s chanel www.youtube.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebebasan Beragama-Berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia yang Mutlak Harus Dipenuhi Negara dalam Keadaan Apapun

20 April 2016   11:30 Diperbarui: 20 April 2016   11:52 9831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kedua, RUU ini sangat rinci mengatur soal kehidupan beragama. Mungkin tujuan semula dari para penyusun RUU tersebut adalah agar ketentuan dalam pasal-pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama itu tidak menjadi pasal karet. Dapat ditafsirkan sesuai keinginan siapa saja sehingga menyulitkan bagi hakim atau pengambil keputusan untuk menetapkan keputusan yang adil dan diterima semua pihak. Akan tetapi, meskipun semakin rinci bunyi pasal-pasal tersebut tetap saja multi tafsir. Sebab, agama adalah hal yang sangat abstrak karena berada di wilayah yang paling privat dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, agama sangat terbuka untuk penafsiran, tergantung siapa yang menafsirkan dan motivasi apa yang bermain di balik penafsiran itu.

Ketiga, RUU ini sangat diskriminatif terhadap agama-agama di luar agama resmi atau kelompok minoritas sehingga dapat menjadi pembenaran bagi munculnya kekerasan atas nama agama. Sebab, ada kesan mendalam bahwa pasal-pasal dalam RUU itu hanya melindungi agama, masyarakat, negara dalam konteks peraturan yang berlaku saat ini di tanah air. Dengan demikian, perlindungan dan proteksi yang dibangun dalam RUU ini hanya ditujukan kepada agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah melalui berbagai peraturan, yaitu 6 agama saja: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Tambahan lagi, yang diproteksi dan dilindungi itu pun terbatas pada kelompok mainstream dari masing-masing agama tadi. Jadi, Ahmadiyah, meskipun termasuk rumpun Islam, yakni agama yang diakui, tetaqp tidak berhak dilindungi karena menyempal dari mainstream. Demikian, pula sekte dan aliran agama lainnya yang bukan mainstream. Fatalnya nanti, RUU ini dapat menjadi pembenaran bagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama yang bukan dari 6 (enam) agama dimaksud atau terhadap kelompok minoritas atau kelompok sempalan dari keenam agama tersebut.

Secara umum pasal-pasal yang bicara soal penghinaan terhadap agama (pasal 341, 342, 343, dan 344) dan yang mengungkap soal penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (pasal 345), serta yang menyatakan tentang gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan (pasal 346-347-348) sangat jauh dari spirit perlindungan hak kebebasan beragama/berkeyakinan seperti ditegaskan dalam DUHAM, konstitusi, dan sejumlah UU nasional tentang HAM. Perlindungan hak kebebasan beragama dalam berbagai dokumen tersebut menekankan pada perlindungan hak asasi manusia, yaitu hak untuk menganut dan tidak menganut agama atau keyakinan tertentu, hak untuk melaksanakan ibadah atau ritual sesuai keyakinan dan agama, dan hak untuk menyiarkan atau mengajarkan tanpa mengancam kebebasan orang lain. Jadi, yang dilindungi adalah manusia, bukan agama, bukan Rasul, bukan Tuhan sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut. Hal ini juga ditegaskan dalam bukunya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) bahwa ``Tuhan Tidak Perlu Dibela``.

Kebebasan individu adalah prisip dasar perlindungan manusia. Dalam konteks ini, harus dipastikan bahwa pemaksaan kehendak dan kekerasan apapun alasannya adalah penghinaan terhadap kebebasan individu dan karena itu harus diberangus atas dasar hak asasi manusia. Oleh karena itu, harus dicatat bahwa pengutamaan individu dalam hak asasi manusia bukalah pengutamaan yang egoistik, melainkan selalu diikuti dengan tuntutan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya, pemenuhan hak asasi manusia selalu mempertimbangkan prasyarat-prasyarat sosial, tidak boleh diselenggarakan dengan cara-cara kekerasan apa pun alasannya. Kebebasan individu sealu berujung pada penghormatan kebebasan individu lain.

Dalam konteks perlindungan terhadap hak kebebasan beragama ini, seharusya negara berada dalam posisi netral dan tidak memihak kepada siapa pun dan kepada golongan agama manapun. Negara harus menjamin penyelenggaraan agama atas alasan sosial, yaitu sebagai hak individu dan sebagai pilihan bebas individu. Negara tidak menjamin isi sebuah agama atau keyakinan, Negara hanya menjamin hak manusia untuk beragama dan berkeyakinan secara bebas dan damai.

Dokumen HAM internasional, konstitusi Indonesia dan sejumlah undang-undang secara tegas menyatakan kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan tidak boleh dikurangi sedikitpun (non-derogable). Negara menjamin pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan kebebasan beragama, baik sebagai hak asasi yang mendasar bagi setiap manusia, maupun sebagai hak sipil bagi setiap warga negara.

Oleh karena itu, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk menjadi sangat relevan. Sebab, hal tersebut akan membawa kepada tumbuhnya rasa saling respek dan cinta kasih di antara warga negara yang berbeda agama dan keyakinan sekalipun. Toleransi beragama dan perasaan cinta kasih merupakan faktor dominan bagi terwujudnya keadilan sosial seperti diamanatkan dalam Pancasila, dan terciptanya kerjasama kemanusiaan menuju perdamaian dunia, sebagaimana tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia. Spirit kebangsaan inilah yang semestinya menjadi acuan dalam membangun peradaban bangsa ke depan sehingga tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana digariskan oleh para pendiri republik tercinta ini.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya yang harus diperhatikan Negara adalah soal akar konflik dan benturan sosial mengatasnamakan `agama` itu bisa terjadi. Bisa jadi akar konflik itu dipicu oleh permasalahan-permasalahan sosial yang buntu di tengah masyarakat seperti masalah pengangguran, kesenjangan pembangunan, lemahnya penegakan hukum dan keadilan, rendahnya kualitas pelayanan publik, ancaman sparatisme dan terorisme, tingginya angka kejahatan kriminalitas dan korupsi, mungkin lemahnya kemampuan hankam (intelijen) dan sebagainya. Apapun bisa terjadi disebabkan atau dipicu oleh persoalan distribusi ekonomi yang tak merata yang mengakibatkan kesenjangan. Di sinilah peran intelijen Negara dituntut untuk sejak awal bisa membacanya sehingga lahir sebuah kebijakan yang populis sebagai resolusinya.

Resolusi Konflik Beragama/Berkeyakinan

Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di tengah perbedaan. Karena perbedaan bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran kerukunan hidup umat beragama harus bersifat dinamis, humanis dan demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah (akar rumput). Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis.

Beberapa pemikir menawarkan resolusi konflik, Jack Rothman mengatakan bahwa untuk mengatasi berbagai konflik yang ada di masyarakat, maka perlu dilakukan dalam tindakan, yaitu: (1) tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengatur administratif, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi. (2) memberikan insentif seperti memberikan penghhargaan kepada suatu komunitas atas keberhasilannya menjaga ketertiban dan keharmonisan. (3) tindakan persuasif, terutama terhadap ketidak puasan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi realitas sosial, politik dan ekonomi. (4) tindakan normative, yakni melakukan proses membangun persepsi dan keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan dicapai (Syarifuddin Jurdi, 2010)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun