Rengasdengklok. Kadang sulit diucapkan. Kata rengasada yang mengucapkan rangkas, mengasosiasikan pikirannya dengan kota Rangkasbitung. Kadang Rengasdengklok ditulis terpisah menjadi Rengas Dengklok, yang betul, ya Rengasdengklok.
Kata yang aneh, bukan? Dari mana asal usul kata itu? Teori sederhana saya adalah-- sebagaimana yang disampaikan seorang informan kepada saya—kata rengas mengacu kepada pohon rengas, yang dulu pada zaman Belanda banyak tumbuh di daerah tersebut. Di antara pohon-pohon rengas yang tumbuh itu, ada satu pohon rengas yang besar, cuma batangnya bengkok. Jadi, orang-orang di luar daerah itu jika mau ke daerah tersebut bilangnya, “Mau ke rengas bengkok.” Nah, kata bengkok lama-lama jika diucapkan terdengarnya dengklok. Kasus ini seperti kata dommekracht (Belanda) menjadi dongkrak dalam bahasa Indonesia.
Agustus tahun ini yang bertepatan dengan bulan Ramadan, mengingatkan saya pada dua kejadian penting di kota ini. Yang sudah umum diketahui adalah kejadian yang dilabeli dengan Peristiwa Rengasdengklok, yaitu “penculikan” Soekarno-Hatta oleh para pemuda sehari menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan, konon bendera Sang Merah Putih sudah dikibarkan di kota Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945 sebab Soekarno-Hatta akan memproklamasikan RI di kota ini seandainya tidak keburu dijemput Ahmad Soebardjo. Kisahnya ada di sejarah.
Setiap Ramadan, ada warga keturunan—meskipun sebagian besar sudah melupakannya—masih ingat kejadian yang dilabeli Kerusuhan Rengasdengklok. Sebuah peristiwa yang kontras dengan Peristiwa Rengasdengklok. Di Peristiwa Rengasdengklok, Soekarno-Hatta dibawa oleh para pemuda, kemudian menjadi “tamu” di rumah warga keturunan, yang oleh warga di sana dipanggil Babah Kisong. Babah Kisong merelakan rumah kecilnya untuk mewujudkan sebuah “rumah besar” yang dicita-citakan bareng-barengsemua bangsa Indonesia. Sebaliknya, di kejadian kedua, warga keturunan menjadi sasaran amuk massa. Rumah-rumah kecil mereka dibakar, sehingga “rumah besar” yang bernama Indonesia itu menampakkan keangkerannya bagi warga keturunan.
Kerusuhan itu tentu saja politis. Tak lama setelah kerusuhan itu, digelar Pemilihan Umum (pemilu) 1997. Harmoko, yang saat itu Ketua Umum Golongan Karya (Golkar), mencoblos di TPS di Karyasari, Rengsdengklok.
31 Januari 1997! Itu tanggal kejadiannya. Saat itu, Ramadan.Rengasdengklok menjadi rangkaian kerusuhan setelah Situbondo dan Tasikmalaya.
Ah, harapannya tidak ada lagi kerusuhan, apalagi warga keturunan dijadikan kambing hitam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI