Di atas meja kerja di dalam kamar yang tak begitu luas. Sebilang lima puluh lima botol berbaris rapi. Botol-botol bir itu berderet layaknya barisan orang mengantri di gedung bioskop, menunggu giliran karcis. Namun, tampak lima botol sudah tergeletak. Bercecaran. Kelima botol nahas tersebut telah habis isi Ia tenggak.
Ia buka botol baru dan dituangnya ke dalam gelas. Sekejap tandas lalu gelas Ia banting keras-keras. Entah, kali keberapa puluh gelas kaca Ia lempar, melayang, membentur dinding kamar kemudian remuk membentuk serpihan-serpihan kecil  berserakan di lantai. Rupanya nasib gelas-gelas itu lebih nahas daripada botol-botol yang terkulai hampa di atas meja, kasur, dan di hampir sebagian ubin kamar. Namun, siapa kira nasibnya ternyata akan tidak kalah nahasnya dengan botol-botol dan gelas-gelas tersebut.
Seolah tanpa henti, botol ketiga puluh tiga Ia tenggak langsung. Tanpa gelas. Gelasnya musnah sudah. Sampai pada botol ini, pandangannya mulai berkunang. Pertanda imaji mengajak terbang. Ia pun mulai senang. Ia ingin segera mabuk kepayang.
Namun belum lagi terbang, tiba-tiba kamu datang menghampirinya yang dalam setengah mabuk. Tepatnya sudah mabuk. Bagai anak kecil tanpa dosa, bayanganmu membuka pintu kenangannya begitu saja.
"Aku ikut!"
Kamu bilang.Â
Macam mana Ia akan mengajak kamu terbang. Ia ragu. Percayalah, ini kali pertama seumur hidupnya meragukanmu. Ia tak pernah benar-benar tidak mempercayaimu sampai setelah apa yang terjadi hari kemarin. Ya, hari kemarin.
Dalam ketidak percayaan, tangannya mulai gemetar. Kaki-kaki pun bergeletar. Jantung berdebar-debar. Otaknya mulai tak sadar. Sekujur tubuhnya hampir menggelepar. Ia mulai mabuk benar. Ia benar-benar mabuk. Bukan karena bir melainkan karena kamu meragukannya. Tepatnya mencapakkannya.
"Ayo terbang!"
Kamu merengek. Memaksanya tuk terbang. Baiklah, kali ini kamu ia turuti. Tapi hanya sekali ini. Tidak untuk kali yang lain. Ini kali terakhir kalian terbang bersama.
"Ayo kita terbang!"
Teriaknya lantang.
Kalian pun terbang menembus langit-langit kamar. Layaknya sepasang merpati, melayang-layang bebas mengitari samudera kenangan. Menjajaki cakrawala masa silam; perpustakaan, bioskop, taman-taman bunga, puncak-puncak gunung, resto dan kafe-kafe favorit, kalian jelajahi semua itu dalam sekali terbang. Ada ketenangan yang ia rasa seketika. Debar jantung yang semula bagai debur samudera, Â denganmu sedikit memudar. Tak lagi kencang dan memelan dengan perlahan.