Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kehendak Tuhan [Pandangan Lelaki Tua Bersahaja tentang Qada dan Qadar]

19 Januari 2012   02:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:42 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mang Badar, demikian orang menyapatukang bangunan itu. Saya mengenalMang Badar ketika beliau dipercaya oleh Burhan, tetangga di depan rumah saya, untuk memugar pagar rumahnya.

Pada satu siang selepas zuhur hujan turun begitu lebatnya sehingga Mang Badar pun terpaksa menghentikan pekerjaannya.

Saat itulah saya bertandang ke rumah Burhandengan maksud mencari teman ngobrol. Kami pun ngobrol bertiga (Burhan, Mang Badar, dan saya) di ruang tamu yang terhubung dengan ruang TV keluarga Burhan.

Saat itu TV hidup tetapi tidak ada anggota keluarga Burhan yang menonton. Saat itu layar TV menanyangkan berita, sehingga perhatian kami pun terbagi pada TV itu. Salah satu berita yang dibacakan adalah tentang kerusuhan di sebuah pengadilan negeri di tanah air.

Kerusuhan dipicu oleh keluarga korban pembunuhan yang tidak puas atas putusan hakim yang memvonis terdakwa dengan 17 tahun penjara. Sementara keluarga korban berharap vonis matilah yang pantas dijatuhkan pada terdakwa pembunuhanggota keluarga mereka. Ketidak puasan itu mereka luapkan dengan cara mengejar dan mengeroyok terdakwa saat hendak dibawa kembali ke rumah tahanan. Beruntung petugas kemanan bisa mengendalikan situasi.

“Heran saya, kenapa keluarga korban harus marah dan ngamuksepert i itu” komentar Mang Badar lelaki 72 tahun yang terlihat 20 tahun lebih muda itu, memecah keheningan akibat seriusnya kami menyimak berita tersebut.

Komentar Mang Badar itu membuat saya penasaran. “Memangmya kenapa Mang” tanya saya.

“Kalo melihat pakaian yang mereka kenakan, pastinya keluarga korban yang ngamuk itu adalah orang yang seiman dengan kita” duga Mang Badar yang segera kami iyakan.

“Lho, kejadian seperti itu kan lumrah pada orang yang sedang terbakar emositoh Mang” kata saya.

“Benar, tapi buat apa kita diminta mengucapkanInna lillahi wa inna ilaihi raji'un saat kitamendapat musibah?” tanya Mang Badar yang langsung membuat mulut saya seakan terkunci.

Saya terpana karena baru kali itu mendengar orang,terlebih dari orang yang pendidikannya(sesuai pengakuan Mang Badar) tak tamat SD (tapi ngajinya khatam Al Quran), melontarkansoal implementasi kalimat Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

“Ya, itukan pengakuan kita bahwa segala sesuatu yang berasal dari (milik) Allah akan kembali kepada Allah” jawab Burhan.

“Itu mah arti menurut bahasa mulut aja, Den” timpal Mang Badar.

“Lho, maksudMamang, apa ada makna lain di luar kata dan bahasa?” tanya saya.

“Guru ngaji saya dulu mengajarkan pada saya bahwa tidak ada satu pun pujian, pengakuan, dan ikrar atas nama Allah atau ditujukan kepada Allah yang boleh berhenti pada tingkat ucapan. Semuanya harus bermuara dan mewujud pada sikap dan perbuatan” jawab Mang Badar.

“Ketika kita mengakui bahwa Allah lah pemilik segala sesuatu melalui ucapan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un maka semestinyakita harus berbesar hati menerima kenyataan ketika sesuatu itu diambilnya kembali. Menurut beliau, itulah inti makna rukun iman ke-6, percaya bahwa qada dan qadar datangnya dari Allah”papar Mang Badar.

“Qada dan qadar adalah ketentuan Allah yang bekerja pada jagat fana (alam materi termasuk manusia).Karena ketentuan Allah itu hanyaAllah saja yang tahu tujuan dan hikmahnya, maka tidaklah pantas kita (manusia) mengoreksinya, apalagi dengan cara-cara tak berperi” lanjut Mang Badar.

“Tapi Mang, bukankah qada dan qadar adalah misteri? Karena misterius maka manusia wajib berusaha maksimal untuk menyibaknya dengan hasil yang terbaik?” tanya Burhan sedikit kurang sependapat dengan Mang Badar.

“Lho, kasus pembunuhan yang diberitakan itu kan bukan misteri lagi. Sudah terjadi. Korban meninggal mungkin sudah tenang di alam kuburnya. Terdakwa pembunuhnya sudah divonis oleh hakim” jawab Mang Badar argumentatif.

“Tapi kan, vonis hakim (manusia)belum tentu sesuai dengan keadilan yang digariskan Allah” sanggah saya.

“Menurut Aden (sapaan satiris Mang Badar kepada saya dan Burhan), apakah para penegak hukum terutama hakim bisa bertindak tanpa adanya kuasa Allah pada dirinya?” tanya Mang Badar.

Sampai di situ, saya dan Burhan kembali hanya bisa terdiam.

Sementara di luar hujan telah reda, Mang Badar pun beranjak untuk meneruskan pekerjaannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun