Beberapa waktu terakhir, publik dibuat heboh dengan isu kenaikan pendapatan anggota DPR. Ironisnya, pada saat yang sama, para guru yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan bangsa masih tersungkur dengan persoalan gaji yang jauh dari kata layak. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun sempat menyinggung rendahnya pendapatan guru dan dosen sebagai salah satu tantangan besar dalam tata kelola keuangan negara.
Jurang Ketidakadilan:
Secara resmi, gaji pokok anggota DPR memang hanya sekitar Rp4,2 juta. Namun, setelah ditambah berbagai tunjangan, mulai dari jabatan, transportasi, komunikasi, hingga fasilitas rumah dinas. Jumlah penghasilan mereka bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah setiap bulannya.
Bandingkan dengan para pendidik:
- Guru PNS maupun PPPK, rata-rata menerima gaji sekitar Rp1,9 juta hingga Rp7,3 juta per bulan, dengan syarat sudah mendapat tunjangan tambahan.
- Guru honorer, kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Masih ada yang hanya digaji Rp300 ribu per bulan, bahkan ada yang baru menerima upah setiap tiga bulan sekali.
Dengan kalkulasi sederhana, penghasilan anggota DPR selama sebulan bisa setara dengan pendapatan seorang guru honorer selama 20 hingga 25 tahun. Ketimpangan ini jelas menimbulkan luka keadilan di tengah masyarakat.
Klarifikasi Pernyataan Sri Mulyani:
Isu sempat memanas ketika beredar video seolah-olah Sri Mulyani menyebut guru sebagai "beban negara." Setelah ditelusuri, pernyataan itu terbukti hoaks hasil rekayasa digital. Dalam pidato aslinya, Sri Mulyani justru menegaskan bahwa gaji guru dan dosen yang rendah merupakan persoalan serius dan harus segera dibenahi agar pendidikan tidak terus tertinggal.
Dengan kata lain, bukan guru yang membebani negara, melainkan negara yang belum optimal menyejahterakan guru.
Keberpihakan yang Dipertanyakan:
DPR berdalih bahwa tambahan dana yang mereka terima bukanlah kenaikan gaji, melainkan penyesuaian fasilitas, misalnya tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan. Namun, di tengah realita guru yang masih menunggu gaji ratusan ribu rupiah, dalih ini tentu sulit diterima publik.
Guru adalah pilar peradaban. Dari ruang kelas yang sederhana, mereka melahirkan generasi yang kelak menjadi dokter, insinyur, pejabat, hingga anggota DPR itu sendiri. Akan tetapi, penghormatan terhadap profesi guru masih sebatas semboyan "pahlawan tanpa tanda jasa" yang tak pernah benar-benar diwujudkan dalam kebijakan.