Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Rasa-rasanya Banyak Melakukan Dosa, tapi Hidup Kok Tenang-tenang Saja?

20 April 2021   02:51 Diperbarui: 23 April 2021   10:30 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan terkadang hukuman Allah yang disegerakan di dunia itu bersifat maknawi, sebagaimana munajat seorang pemuka Bani Israil: "Wahai Tuhanku, betapa banyak aku bermaksiat kepadamu tetapi Engkau tiada menghukumku".

Maka dikatakanlah kepadanya: "Betapa banyak Aku menghukummu tetapi kau tidak mengetahuinya. Tidakkah sudah Aku halangi engkau untuk mendapatkan manisnya munajat kepada-Ku?" (Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi, Shaidul Khatir, [Damaskus, Darul Fikr, 1960 M.], Vol. I. Hal. 85.)

***

Kita tak seharusnya memahami bentuk "hukuman Tuhan" kepada hamba-Nya yang berdosa adalah semata-mata hanya hukuman dalam arti kasat mata. Banjir di era nabi Nuh 'alaihissalam, hancurnya kota Sodom dan Gomora, tanah longsor, gempa bumi, atau kecelakaan parah.

Tapi ada juga hukuman dalam arti tak kasat mata. Dan itu sebenarnya jauh lebih "menyakitkan", karena dalam beberapa hal, kejadian nyata semacam kecelakaan atau musibah lain seperti hilangnya materi justru pada akhirnya akan membuat seseorang sadar.

Namun tatkala orang melakukan dosa, kemudian ia "dihukum" dengan perlahan-lahan akan semakin jauh dengan Tuhannya, maka itu sebenarnya jauh lebih menyakitkan. Sebab ia sendiri bahkan tidak pernah menyadari kalau ia sedang dihukum.

"Betapa banyak orang yang mengumbar penglihatannya, hingga tidak mampu mengambil nasihat dari mata hatinya. Atau mulutnya, sehingga terhalang bersih hatinya. Atau mendapat dampak buruk makanan syubhat, hingga jadi tercela kelakuannya, dan tidak mampu melakukan salat malam, juga hilang sudah manisnya munajat kepada-Nya. Dan banyak lagi bentuk hukuman-hukuman yang lain." (Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi, Shaidul Khatir, [Damaskus, Darul Fikr, 1960 M.], Vol. I. Hal. 85-86.)

Hari-hari berlalu dengan percuma. Waktu juga lewat dengan sia-sia. Hendak melakukan ibadah sunnah terasa berat. Alquran tak pernah dibaca, dzikir dan salat malam apalagi. Seakan hidup hanya fokus dengan dunia.

Mungkin ia masih diberi kesempatan melakukan salat lima waktu dan puasa Ramadhan. Namun ia tidak pernah menemukan dimanakah letak "kenikmatan" dari ibadahnya. Salat terasa hambar, seperti hanya melakukan ritus yang monoton. Seakan-akan salat hanya dilakukan untuk "menebus" kewajiban saja.

Yah, itu karena Allah subhanahuwata'ala telah mencabut rasa manis ibadah seorang hamba. Seperti kisah pemuka Bani Israil diatas.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun