Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Pemikiran Melebihi Bencana Alam

13 Juli 2020   05:24 Diperbarui: 13 Juli 2020   05:25 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

_____________

Saya gak kenal siapa Nietszche. Tak pernah baca buku-bukunya. Namun lantang suaranya tentang filsafat atau paham "yang itu" sungguh mengusik telinga. Di dunia ini mengapa harus ada orang-orang seperti Nietszche. Mungkin pernah saya berpikir begitu.

Tapi cerita saya bukan akan berhenti pada seorang Nietzsche. Namun sebatas keheranan akan mau-maunya orang meneruskan pemikiran yang "terlalu kritis" atau sangat anti mainstream.

Jika bukan Nietzsche, mungkin akan tenggelam. Andaikan ada suara kontroversi nyaring yang menggugat mayoritas, mungkin itu akan segera dilupakan. Jadi, mungkin hanya akan sedikit nama seperti Rene Descartes dan Bertrand Russell. Atau yang begitu berani dan "lancang" seperti Nietszche. Saya hanya heran.

Tapi tentunya banyak kesalahan membuat orang jadi berpikir. Dan lebih berkaca. Mengingatkan saya pada sajak "pahit" yang menyindir manusia, tulisan Soebagio Sastrowardoyo. "Kita telah banyak melihat dan mengalami, lewat dosa hanya kita bisa dewasa."

Jika pecinta alam membenci rantai makanan karena seolah nampak menghancurkan, maka sebaiknya sesekali dia jalan-jalan. Andaikan ekosistem lingkungan akhirnya jadi tidak seimbang tanpa adanya predator. Maka alam yang damai itu sebenarnya akan rusak karena tak ada "penyeimbang". Populasi tikus meledak, atau orang jadi bisa melihat belalang terbang dimana-mana.

Demikian pula dalam konteks berpikir. Ada yang menyuarakan pemikiran keliru dan terang-terangan (tanpa malu, karena yakin akan kebenarannya). Mungkin dalam analogi ekosistem alam, itu seperti rantai makanan. Atau seperti iklim yang sedikit banyak "menyeimbangkan" dengan caranya sendiri.

Maka semesta memiliki hukum alam tersendiri yang "unik". Lebih baik mungkin bukan menghujat dan menanggapinya dengan emosi yang meledak-ledak. Akan tetapi tetap duduk tenang dan memikirkan hikmahnya. Sebab semuanya tetap memiliki prosedur yang (biasanya) akan tetap berjalan semestinya.

Andaikan dengan menggebu-gebu orang membunuh pemikiran Nietszche, maka mungkin dengan tak terkendali akan muncul Nietszche-Nietszche yang lain. Jika saja orang dengan amarah memuncak begitu memusuhi sesuatu (semisal paham menyimpang), itu mungkin hanya akan menghabiskan tenaga "sia-sia". Sebab dengan sendirinya akan menjamur hal ekstrim lain. Yang mungkin malah kian tegasnya balik memusuhi.

Membiarkan itu tetap lestari bukanlah hal bijak, tapi memusuhi dengan emosional juga bukanlah sebuah solusi. Maka kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang perlu dijelas-jelaskan. Mereka yang sudah waktunya paham juga akan mengerti dengan sendirinya. Bagaimana bersikap dan bagaimana menggunakan wawasan juga pengetahuan yang dimiliki.

Tapi bukan sesuatu jika nihil akan risiko. Manusia jadi memiliki bencana alam yang lebih dahsyat dari sekedar tsunami yang memporak-porandakan. Bencana "pemikiran" itu sendiri. Seperti virus yang menginfeksi, ide-ide Karl Marx atau siapalah seolah menciptakan gelombang yang berkelanjutan. Bagi orang-orang yang menganggap Marxisme adalah masalah besar.

Tsunami adalah gelombang sekali jalan yang menghancurkan dalam satu hari. Selepas itu tsunami pergi dan tak kembali. Cuma meninggalkan bekas yang bisa diperbaiki dalam sekian tahun. Namun kekacauan karena ide dan pemikiran yang "menyesatkan" jauh lebih berbahaya. Mirip bencana yang tak ada habis-habisnya. Setiap anak yang lahir di setiap generasi akan merasakan "bencana alam" itu. Meneruskannya. Hingga entahlah kapan bisa benar-benar hilang.

Bencana alam adalah kesedihan. Namun dengan penuh kesadaran, yang mengalami bencana tersebut akan memperbaiki kerusakannya. Tapi bencana kesalahan berpikir yang diteruskan turun temurun sebenarnya adalah tragedi kemanusiaan itu sendiri. Sedih sekali saat melihat orang justru nyaman dengan tragedi. Tapi semoga tak bermaksud mengatakan siapa benar dan siapa salah.

Seseorang menyiapkan kapal yang berlubang lambungnya untuk berlayar. Kemudian berduyun-duyun sebagian masyarakat mengisi perahu itu. Bersama-sama mereka berlayar ke tengah laut. Menuju kuburan mereka masing-masing...

Entahlah untuk apa mengajak orang-orang kembali. Sebab beberapa mungkin sekedar kecewa dengan daratan. Dan cuma ingin menyuarakan aspirasi, bukan diatas tanah. Tapi mungkin diatas samudera atau diatas awan. Asalkan bukan bertujuan menaklukkan dunia, ya terserah mereka...

Sebab saya juga sebenarnya masih sibuk memikirkan kehidupan saya sendiri.

***

Sekian...

***

12 Juli 2020 M.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun