Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Ketika Merasa Sedih, Tulislah Buku Harian

5 Juni 2020   06:07 Diperbarui: 5 Juni 2020   06:21 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CATATAN TENTANG BUKU HARIAN

__________

Beberapa dari kita enggan menulis buku harian. Buku harian itu bagi sebagian orang gak penting. Tapi bagi sebagian orang lain, buku harian sangat penting.

Buku harian ibarat otobiografi seseorang. Pernahkah anda membaca otobiografi? Atau membaca buku kisah hidup seseorang, seperti Steve Jobs misalnya. Atau seperti pak Habibie dan Bu Ainun, Albert Einstein. Tokoh lain, Galileo Galilei misalnya, jika ada bukunya. Atau bukunya Tara Westhover itu? Yang Educated.

Setiap buku otobiografi memiliki klimaks. Memiliki bagian-bagian sulit. Memiliki halaman-halaman yang isinya "penuh penderitaan". Menceritakan masa-masa sedih. Kisah Tara Westhover misalnya, dalam otobiografinya, halaman-halaman tersulit adalah saat dia harus jauh dari rumah. Dan berjuang di awal-awal kuliah.

Tapi halaman selanjutnya adalah kebahagiaan. Saat dia mulai memanen hasil kerja kerasnya. Menjadi lulusan terbaik. Masa-masa sulit pak Habibie ketika kuliah di luar negeri. Atau yang bukan otobiografi seperti novel Sepatu Dahlan. Saat pak Dahlan Iskan harus menempuh masa-masa sulit ketika masih kecil, jalan kaki jauh sekali menuju sekolah...

Jika anda adalah pemilik otobiografi itu, mungkinkah anda akan berhenti saja menulis saat sampai di halaman sulit? Saat sampai di kisah-kisah yang isinya penderitaan?

Berpikir, "ah... Sudahlah, aku ingin mengakhiri ini disini saja."

Atau saat menonton film yang mengisahkan perjalanan hidup seseorang, apakah kita akan berhenti begitu saja nonton filmnya hanya gara-gara sampai di adegan yang sedih? Filmnya gak dilanjutkan sampai tamat?

Nonton The Pursuit of Happiness, lalu ketika sampai pada scene dimana Chris Gardner ditinggalkan istrinya, kehilangan rumahnya, tak punya uang, dan harus bekerja banting tulang. Apakah kita gak akan lanjut lagi nonton sampai akhir film, saat kita sampai di bagian itu?

Kalau iya kita berhenti di scene itu, kita jadi gak akan tahu kalau di akhir kisah, Chris Gardner akhirnya jadi orang yang benar-benar sukses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun