Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Agustinus Wibowo, Buku "Titik Nol" yang Menyadarkan Kita untuk Bersyukur Jadi Orang Indonesia

5 April 2020   05:46 Diperbarui: 5 April 2020   05:57 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sendiri hidup dengan sejuta kisah. Tutur yang saling melengkapi satu kehidupan dengan yang lain. Kepingan demi kepingan yang merangkap jadi satu kesatuan. Tiadanya dirimu, berarti satu lubang telah hilang.

Seperti halnya Shahrazad. Yang mengulur waktu jadi seribu satu malam. Dia hidup dari dongeng yang antah berantah. Memberinya jeda nafas yang lebih panjang. Selama masih bisa bertutur, lebih lama dia bisa melihat dunia.

Kemarin baca buku mas Agustinus Wibowo. Judul buku itu sendiri menjadi semacam magnet buat saya. Titik Nol. Judulnya menarik. Cerita tentang perjalanan. 

Ekspektasi rendah saya tentang kisah semacam log pos, keruwetan sebuah jurnal, atau diksi yang dipilih para kolumnis tulisan serius runtuh seketika bahkan di beberapa halaman pertama. Buku ini membawa bahasa yang sama sekali tidak membosankan. Tentu itu perspektif. Menurut saya hari ini. Terserah menurut anda. Anda boleh menilai buku itu membosankan, dan saya tidak akan peduli.

"Jauh adalah kata yang mengawali perjalanan. Jauh menawarkan misteri keterasingan, jauh menebarkan aroma bahaya, jauh memproduksi desir petualangan menggoda. Jauh adalah sebuah pertanyaan sekaligus jawaban, jauh adalah sebuah titik tujuan yang penuh teka-teki. Marco Polo melintasi jalan panjang dari Venesia hingga takhta kaisar Mongol di negeri China. 

Para pengelana lautan Eropa bertahun-tahun mengarungi samudra luas, menyabung nyawa, menjinakkan suku primitif di belantara. Para astronot dan kosmonot berlomba menginjakkan kaki di bulan, menguak tabir angkasa. Deretan pengembara akbar menghiasi sejarah peradaban. Semua terjerat pesona kata itu: jauh.

Seberapa jauhnyakah "jauh" itu? Berapa lama untuk mencapainya? Imajinasi liar manusia terus menggerus dimensi ruang dan waktu, terus berkelana menembus batas. Tentang kehidupan yang paling asing, paling berbeda, eksotis, ajailb, unik, pelik, antik, eksentrik. Jauh."

Bayangan kita tentang hidup terasing di negeri orang kadang melampaui akal sehat. Hidup di luar negeri katanya selalu enak. Hidup di luar Indonesia katanya selalu sejahtera. Benarkah?

Saya sendiri tidak percaya. Saya selalu percaya rumah adalah surga terindah. Kita tinggal di negeri yang makanan apapun tersedia. Tumbuhan bagaimanapun hampir semua ada. 

Negeri yang tak harus mengalami hari-hari terlampau dingin, atau terlampau panas. Cukup dua musim yang sejuk. Tak perlu ada air yang beku karena salju, atau tanah yang retak kemarau karena terik.

Jauh dari rumah, kadang berarti menyiksa diri. Membaca buku Titik Nol, Saya jadi ikut merasakan "sengsara". Tekanan batin luar biasa. Serasa ikut berada dalam kereta ekonomi yang penuh sesak. Melangkah melewati rel Beijing menuju Urumqi. Perjalanan menyesakkan nurani selama berhari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun