HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA
Bahasa dan budaya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, karena saling berpengaruh. Menurut Koentjaraningrat (1992:15) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Penggunaan bahasa dapat diketahui bahwa ada hubungan antara struktur sosial dan cara masyarakat dalam menggunakan bahasa tersebut yang dapat mengarah pada pembentukan perilaku linguistik tersebut. Bahasa dapat juga diwujudkan sebagai refleksi diri, artinya bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut. Hubungan bahasa dengan kebudayaan secara garis besar terdapat dua kategori, yaitu yang bersifat subordinatif, di mana bahasa di bawah lingkup kebudayaan, dan hubungan yang bersifat koordinatif, yakni hubungan yang sederajat dengan kedudukannya yang sama tinggi.
Kebanyakan ahli mengatakan bahwa kebudayaan menjadi mainsystem, sedangkan bahasa hanya merupakan subsystem (seperti yang sudah dibicarakan mengenai hakikat kebudayaan di atas), tidak ada atau belum ada yang mengatakan sebaliknya. Berkaitan dengan hubungan yang bersifat koordinatif antara bahasa dengan kebudayaan, Masinambouw (1985) menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia karena kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan bahasa merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.
Ada beberapa teori mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan. Secara garis besar, teori-teori tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu menyatakan hubungan yang bersifat subordinatif, di mana bahasa di bawah lingkup kebudayaan, dan hubungan yang bersifat koordinatif, yakni hubungan yang sederajat dengan kedudukannya yang sama tinggi.
- Hubungan Koordinatif
Ada dua fenomena menarik di dalam hubungan yang bersifat koordinatif ini. Pertama, ada yang mengatakan hubungan tersebut terikat erat seperti sekeping mata uang logam: sisi yang satu adalah sistem kebahasaan dan sisi yang lain adalah sistem kebudayaan (Silzer: 1990 dalam Chaer, 1995:218). bahwa kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda tetapi hubungannya sangat erat. Kedua, adanya hipotesis yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini terkenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf, yang lazim disebut relativitas bahasa.
Dalam hipotesisnya dikemukakan, bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia. Oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Sapir mengatakan adanya hubungan yang erat antara bahasa dengan kebudayaan serta menekankan bahwa bahasa dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain, sehingga seseorang tidak dapat memahami yang satu tanpa mengetahui yang lain. Whorf, murid Sapir, memperluas ide tersebut. Dia bukan hanya mengatakan adanya suatu pengaruh, melainkan hubungan antara bahasa dengan kebudayaan merupakan suatu yang determinatif. Penutur bahasa yang berbeda-beda, menurut Whorf, akan memandang dunia secara berbeda sepanjang bahasa yang mereka pergunakan berbeda secara struktural.
- Hubungan Subordinatif
- Beberapa hal yang dapat diklasifikasikan pada pola hubungan ini antara lain sebagai berikut.
- Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang berkaitan dengan perubahan bahasa yang diakibatkan perubahan budaya. Hal ini lebih menonjol pada aspek morfologis daripada aspek-aspek linguistik yang lain.
- Tunduknya tindak komunikasi pada norma-norma kebudayaan.
- Tata cara berbahasa harus sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, tempat hidup dan dipergunakannya bahasa tersebut.
- Hubungan langsung yang menyatakan bahwa Bahasa adalah hasil kebudayaan (Levi-Strauss,1963 dalam Sibarani, 1992:104). Bahasa yang diucapkan atau dipergunakan oleh suatu kelompok masyarakat adalah suatu refleksi atau cerminan keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut.
RELATIVITAS BAHASA DAN RELATIVITAS BUDAYA
Masinambouw (1985) menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia karena kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan bahasa atau kebudayaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu. Ada juga yang mengatakan hubungan tersebut terikat erat seperti sekeping mata uang logam: sisi yang satu adalah sistem kebahasaan dan sisi yang lain adalah sistem kebudayaan (Silzer: 1990 dalam Chaer, 1995:218). Jadi, pendapat ini sejalan dengan konsep Masinambouw diatas, bahwa kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda tetapi hubungannya sangat erat.
Hipotesis yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini terkenal dengan nama hipotesis Sapir-Whorf, yang lazim disebut relativitas bahasa.
Setiap pembicaraan tentang bahasa dan budaya atau bahasa dan pola pikir hampir selalu dikaitkan dengan hipotesis Sapir-Whorf (HSW). Sapir berpandangan, bahwa bahasa merupakan sebuah kemampuan yang diwarisi secara kultural, bukan secara biologis. Ketika suatu hal diwarisi secara kultural, maka dapat dikatakan bahwa hal tersebut tentu melibatkan interaksi sosial sebagai salah satu elemen utama dalam sebuah sistem kebudayaan.
Nampak jelas adanya hubungan timbal balik antara relativitas budaya dan relativitas bahasa. dengan menunjukkan pengaruh timbal-balik antara bahasa, pola-pikir, dan budaya. juga didasarkan pada pemikiran Sapir (1921: 207), yang menyatakan "language does not exist apart from culture, that is, from the socially inherited assemblage of practices and beliefs that determines the texture of lives" (bahasa tak terpisahkan dari budaya, yang merupakan warisan sosial berwujud paduan tindakan dan kepercayaan yang menentukan tekstur kehidupan kita).