Di era digital ini, profesi konten kreator semakin digandrungi. Banyak anak muda termasuk mahasiswa beralih dari pekerja konvensional ke dunia digital sebagai tiktoker, youtuber,selebgram bahkan penulis freelance. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil meraih penghasilan puluhan juta rupiah perbulannya. Namun, ditengah tingginya pendapatan itu, muncul pertanyaan penting "Apakah konten kreator juga wajib membayar zakat profesi?"Â
 Apa itu zakat profesi?  Zakat profesi ialah zakat yang dikenakan atas penghasilan dari pekerjaan tertentu, baik sebagai dokter,guru,karyawan, pengacara atau pekerjaan mandiri. Menurut Fatwa MUI No.3 Tahun 2003, penghasilan rutin baik dari gaji maupun fee profesional yang mencapai nisab yaitu batas minimal setara dengan 85 gram emas dan haul berlalu satu tahun, wajib dizakati sebesar 2,5%.
Jika dikonversi ke rupiah, nisab zakat profesi pertahun saat ini setara dengan sekitar 100 juta(tergantung harga emas). Artinya, jika seseorang memperoleh penghasilan lebih dari 8 juta perbulan dan tidak habis untuk kebutuhan pokok, maka ia termasuk muzzaki atau orang yang wajib zakat.Â
Konten Kreator : Penghasilan Tinggi Tapi Terabaikan
Konten kreator ialah mereka yang mendapatkan penghasilan melalui platform seperti :
1. Youtube (melalui AdSense atau sponsorship)
2. Instagram/Tiktok (melalui endorsement atau gift)
3. Twitch atau platform streaming lain, bahkan
4. Blog pribadi atau podcase berbayar.
Meskipun sebagian besar dari mereka tidak memiliki penghasilan tetap, namun pendapatannya justru bisa sangat besar dan terus meningkat. Disisi lain, belum ada regulasi zakat yang secara spesifik mengatur profesi digital ini.
Hukum zakat di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Namun sayangnya, UU ini belum menyentuh realitas profesi baru di era digital. Perhatian masih berfokus pada zakat hasil pertanian, peternakan, gaji tetap, ataupun pedagang konvensional.
Lembaga seperti BAZNAS dan LAZ, sebenarnya sudah mulai membuat ruang untuk zakat profesi. Tapi, belum ada petunjuk teknis yang tertuju langsung pada konten kreator, padahal potensi  zakat dari sektor ini sangat besar.
Tantangan di Lapangan
Ada beberapa kendala yang membuat zakat profesi konten kreator belum berjalan dengan maksimal:
1. Ketidaktahuan : Banyak konten kreator tidak tahu bahwa mereka tergolong wajib zakat.
2. Pendapatan Fluktuatif : Sulit menentukan haul dan nisab karena penghasilan tidak tetap.
3. Belum Terintegrasi : Tidak ada kerjasama antara platform digital dengan lembaga zakat.
4. Minimnya sosialisasi : Kampanye zakat masih fokus pada sektor formal.
Solusi Untuk Mengatasi dan Harapan Kedepannya
Agar sistem zakat relevan dengan perkembangan zaman, beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah :
1. MUI perlu mengeluarkan fatwa baru yang lebih spesifik mengatur zakat bagi profesi digital.
2. BAZNAS dan LAZ harus aktif edukasi lewat media sosial tepat sasaran ke komunitas konten kreator muda.Â
3. Platform digital diajak kerjasama untuk membuat nontifikasi zakat otomatis, misalnya saat kreator mencapai pendapatan tertentu.
4. Buat kalkulator zakat digital khusus konten kreator agar mudah menghitung.
Konten kreator adalah wajah baru ekonomi umat di era digital. Potensi mereka bukan hanya sebagai penghibur atau penyampai informasi, tapi juga sebagai penyokong sistem sosial islam melalui zakat. Maka, sudah saatnya regulasi zakat profesi berkembang dan menjangkau profesi kreatif berbasis digital agar nilai-nilai keadilan islam tetap terjaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI