Dalam Qanun Jinayah, lanjutnya, tidak mengenal pemulihan anak terlebih dahulu dalam kasus kekerasan seksual. Sedangkan dalam UU Perlindungan Anak, tidak ada "rem" dalam pemberian hukuman terhadap pelaku namun di lain sisi juga memberikan tanggung jawab lebih kepada negara untuk memulihkan anak dari trauma nya setelah mengalami kekerasan seksual.
"Hal inilah yang menyebabkan penerapan UU Perlindungan anak lebih tepat untuk diterapkan. Kekerasan seksual tidak hanya persoalan menghukum pelaku, tetapi ada hak korban untuk dilindungi di dalamnya," tegasnya.
Syahrul menyebut hukum jinayat saat ini belum cukup memadai dalam menangani kasus kekerasan seksual. Dampak penerapan Qanun Jinayat dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak adalah penghentian kasus (karena dianggap tidak ada bukti).
Kemudian, maraknya putusan bebas pelaku (karena sudah bersumpah), korban menjadi korban ganda (karena pelaku dapat dengan bebas mengulangi kejahatannya karena tidak ada efek jera), pengabaian hak atas reparasi korban (tidak adanya pemulihan fisik dan mental korban yang diatur dalam qanun jinayat).
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan RI, Andy Yentriyani, mengatakan dalam UU TPKS, ada beberapa muatan penting yaitu korban memiliki hak atas pendampingan dan pendamping juga berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Selain itu, pendamping tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Muatan penting yang lain adalah berkaitan dengan hak korban tentang penanganan, perlindungan (tempat yang aman, kerahasiaan identitas termasuk penghapusan konten bermuatan seksual, perlindungan dari sikap APH yang merendahkan korban, dan bebas dari tuntutan), pemulihan.
"Muatan penting UU TPKS yang berkaitan dengan anak yaitu adalah pengecualian delik aduan pada kasus pelecehan seksual non fisik, karena anak sering kali tidak mengetahui apa yang mereka alami, jadi tidak berlaku delik aduan, berbeda dengan kekerasan seksual pada umumnya," ucap Andy.
Selain itu, kata dia, perkawinan anak termasuk tindak pemaksaan perkawinan, pemberatan hukuman (1/3) pada TPKS yang dilakukan terhadap anak, pencabutan hak asuh atau pengampunan anak, pengecualian larangan penyelesaian di luar pengadilan terhadap pelaku anak, perhatian pada kepentingan terbaik pada anak.
"Muatan lain yang penting juga berkaitan dengan pencegahan dan pengawasan. Untuk pencegahan memerlukan peran keluarga, komunitas, dan Lembaga seperti Lembaga agama, pendidikan, dan lain-lain," ungkapnya.
Ia menyebutkan ada tiga jenis kondisi kebijakan daerah, yaitu pertama Afirmatif, yaitu focus kebijakan daerah pada upaya pencegahan dan penanganan. Kedua, kontradiktif-1, yaitu dasar pikir kebijakan daerah menempatkan kekerasan seksual sebagai isu moralitas semata, dengan pengaturan yang bersifat superfisial.
Selanjutnya, Kontradiktif-2, yaitu rumusan kebijakan daerah yang multitafsir, cenderung pada pendekatan punitive daripada edukatif pada isu moralitas dan tidak mengintegrasikan pemahaman utuh ketimpangan kuasa, hak korban, dan Langkah afirmasi.