Mohon tunggu...
Kamar Udin
Kamar Udin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keganjilan dalam Pesta Demokrasi

9 Januari 2018   06:50 Diperbarui: 10 Januari 2018   09:14 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap ada pemilu kita dianjurkan jadi pemilih cerdas, jangan salah pilih pemimpin. Yang jadi pertanyaan, memangnya ada pilihan yang jelek? Masa' sih parpol dan KPU tega menjebak rakyat memberi pilihan yang buruk. Lagipula mereka lebih tahu dan punya akses untuk mengetahui rekam jejak seseorang disbanding rakyat kebanyakan.

Pasca reformasi presiden tidak lagi dipilih oleh MPR tapi langsung dipilih rakyat. Untuk itu UUD '45 di amandemen. Padahal sila ke-4 Pancasila mash mengamanatkan pemimpin itu hasil permusyawaratan/ perwakilan. Jelas menurut sila tersebut MPR lah yang memilih presiden. Yang jadi pertanyaan, sebenarnya Pancasila masih jadi dasar negara ini atau tidak sih?

Setelah pemilu bangsa ini terpolarisasi dalam 2 kekuatan besar yang terus bertikai di dunia nyata maupun dunia maya. Yang satu mengaku merasa paling pancasila dan yang satu lagi mengaku bela agama. Padahal antara pancasila dan agama tidak perlu dibertentangan, karena keduanya percaya adanya Tuhan. Beda dengan demokrasi yang menganggap suara mayoritas sebagai kebenaran. Dengan semboyannya 'vox populi vox dei', demokrasi menganggap suara mayoritas rakyat sebagai suara tuhan. Padahal dalam sejarahnya ketika tuhan bersuara selalu lewat seorang nabi bukan melalui suara kebanyakan manusia.

Untuk memenangkan pemilu, calon kandidat harus dikenal agar banyak yang memilih. Supaya dikenal dan dipilih butuh biaya yang sering kali melebihi gaji yang akan diterimanya apabila dia menjabat. Lalu dia diharapkan tidak korupsi. Apa ini tidak aneh ?

Ada calon yang melakukan bagi-bagi uang, sembako dan sebagainya agar terpilih. Karena memilih itu bersifat rahasia maknya cara-cara tersebut sedikit sekali jaminannya, yang ada malah beresiko kena OTT oleh kandidat lawan. Tapi cara-cara tersebut masih ada yang pakai, kan aneh.

Setelah pemilu biasanya tercipta kubu pendukung dan kubu oposisi. Anehnya kubu oposisi akan menjadi fihak yang paling bawel menuntut kesempurnaan pejabat yang terpilih, namun juga berharap pejabat tersebut gagal supaya bisa gentian memimpin.

Pemilu langsung sepertinya sederhana, pilih lalu dihitung. Tapi pelaksanaannya tidak semudah itu. Jika memilih ketua kelas atau ketua RT mungkin demikian. Namun ini tingkatannya Negara. Menyusun daftar pemilih saja sudah repot dan berpotensi digugat, belum lagi distribusi logistik pemilu, proses penghitungan suara, dan sebagainya dan sebagainya. Tapi anehnya cara yang rumit dan banyak masalah ini masih dipakai.

Satu saat partai A bersaing sengit dengan partai B di satu wilayah. Isyu-isyu sensitif menguras emosi dan memicu kemarahan di level massa pendukung. Namun di kesempatan lain pada wilayah y berbeda partai A dan partai B bisa bermesraan.

Para pemuja demokrasi mengatakan pemilu dengan sistem 'one person one vote' adalah cara yang adil. Semua suara nilainya sama baik pemilih yang peduli, yang mau mempelajari satu persatu kandidat, pemilih yang memilih karena unsur kekerabatan, yang memilih karena utang budi, yang karena dibayar, yang asal-asalan, yang ditekan dan macam-macam alasan lainnya. Dan anehnya para pemuja demokrasi tersebut akan kecewa bila yang terpilih tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Contoh nyatanya bisa kita lihat, bagaimana buruknya  hubungan ketua MPR yang  dulu mengamandemen UUD '45 sehingga bisa terlaksana pemilu langsung , dengan presiden yang terpilih sekarang. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun