Pagi itu, saya minum segelas susu. Rasanya enak. Tapi tiba-tiba saya kepikiran satu hal: susu ini datang dari mana? Dari peternak lokal, atau dari pabrik pengolahan besar yang bahan bakunya impor? Saya mulai cari tahu, dan ternyata jawabannya agak nyesek.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi susu segar nasional pada 2023 hanya mencapai 837.223 ton. Angka itu bahkan turun dari tahun sebelumnya yang nyaris menyentuh 969 ribu ton.Â
Kalau dibandingkan dengan kebutuhan nasional yang diperkirakan sekitar 4,3 sampai 4,8 juta ton per tahun (mengacu pada konsumsi rata-rata 16,9 kg per kapita untuk populasi 280 jutaan) produksi kita cuma cukup untuk sekitar 17-20% dari total kebutuhan. Sisanya? Ya, diimpor dalam bentuk susu bubuk, whey, atau susu cair dari Selandia Baru, Australia, bahkan Uni Eropa.
Masalahnya bukan sekadar angka, tapi soal ketergantungan. Saat kita bicara tentang gizi anak-anak Indonesia, tentang stunting, atau tentang program makan bergizi gratis yang kini digaungkan pemerintah, maka urusan susu bukan cuma soal minuman---ini soal nasib bangsa ke depan. Gimana kita bisa bicara kedaulatan pangan kalau sebagian besar asupan gizi anak-anak saja kita harus datangkan dari luar?
Sebetulnya Indonesia punya potensi. Tapi mayoritas peternak sapi perah di negeri ini masih berskala kecil. Satu peternak biasanya cuma punya 2--5 ekor sapi, dan produksinya rendah---rata-rata 10--12 liter per hari per ekor. Bandingkan dengan Belanda atau Australia yang bisa mencapai 25 liter ke atas. Belum lagi soal pakan yang mahal, penyakit ternak, dan kurangnya fasilitas pendingin. Ujung-ujungnya, susu lokal kalah saing, bahkan sering ditolak industri karena kualitasnya nggak stabil.
Kita ini seperti terjebak dalam siklus: produksi kecil harga tinggi kalah bersaing peternak makin susah produksi makin turun. Dan ini terus berulang.
Padahal kalau kita serius ingin mandiri dalam urusan pangan, urusan susu harus jadi prioritas. Peternakan rakyat perlu dibantu, bukan sekadar dilatih tapi juga diakseskan ke pembiayaan, teknologi, dan pasar. Industri olahan harus mulai berani berpihak pada produk dalam negeri. Pemerintah? Sudah saatnya menjadikan susu bukan hanya bagian dari program gizi, tapi bagian dari strategi geopolitik pangan.
Karena segelas susu itu bukan cuma soal kalsium dan protein. Tapi juga soal kemandirian, keadilan ekonomi, dan masa depan anak-anak bangsa.
Sumber: https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NDkzIzI%3D/produksi-susu-segar-menurut-provinsi.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI