Hubungan yang Tidak Sehat Bukan Milik Satu Gender
Dalam diskursus publik mengenai hubungan yang merusak atau toxic relationship, sering kali pemaparan yang dibangun menempatkan laki-laki sebagai pelaku utama, sementara itu perempuan menjadi korban penderitaan. Ini bukan tanpa alasan, sejarah panjang ketimpangan gender telah menjadikan kekerasan dalam hubungan sebagai isu struktural yang mayoritas korbannya adalah perempuan.
Namun, pola pikir tersebut kerap menutup kemungkinan bahwa laki-laki pun dapat mengalami hubungan yang menyakitkan, baik secara fisik maupun psikologis. kalau dilihat lebih jauh lagi, perempuan juga bisa menjadi pelaku dalam hubungan yang tidak sehat, meskipun dalam bentuk yang berbeda dari kekerasan fisik.
Hubungan yang toxic bisa terjadi dalam berbagai bentuk yaitu manipulasi emosional, kontrol berlebihan, intimidasi verbal, hingga ketergantungan emosional yang membuat seseorang kehilangan jati diri.
“Namanya Juga Cowok, Masa Gitu Aja Gak Kuat?”
Salah satu kendala terbesar bagi laki-laki untuk mengakui bahwa mereka adalah korban hubungan toxic adalah karena konstruksi sosial yang menempatkan mereka sebagai individu yang harus kuat secara emosional. Mereka dituntut untuk tidak terlalu "baper", tidak mudah curhat, apalagi mengeluh. Padahal, banyak laki-laki yang mengalami tekanan luar biasa dari pasangannya, hanya saja tidak punya ruang aman untuk bersuara.
Kalimat seperti, “masa cowok segitu aja tersinggung,” atau “kok lo takut sih sama cewek sendiri?” adalah contoh nyata bagaimana masyarakat meremehkan penderitaan emosional laki-laki dalam hubungan. Mereka dipaksa bertahan dalam hubungan yang secara psikologis menyiksa, hanya karena takut dibilang lemah.
Bahkan lebih jauh lagi, mereka takut kehilangan harga diri. Padahal, luka batin tidak mengenal jenis kelamin. Ketika seseorang direndahkan, dikontrol, atau dimanipulasi oleh pasangan, maka dia layak disebut sebagai korban tidak peduli apakah dia perempuan atau laki-laki.
“Dia Kan Cewek, Wajar Aja Kalo Emosian”
Di sisi lain, perempuan yang bersikap manipulatif, mengontrol pasangan, bahkan merendahkan pasangannya di depan umum sering kali dibenarkan. Alasannya pun terkesan ‘maklum’ karena sedang PMS, karena terlalu sayang, atau karena perempuan memang lebih emosional.