Indonesia dikenal sebagai negeri kaya raya --- tanahnya mengandung emas, nikel, batu bara, dan berbagai sumber daya alam yang melimpah. Namun di balik kekayaan itu, tersimpan ironi: rakyat di negeri yang kaya ini justru hidup dalam kemiskinan.
Di antara gunung-gunung yang digali dan hutan yang digunduli, tambang-tambang itu kini tak lagi menjadi rahmat bagi umat. Ia telah berubah menjadi ladang keuntungan bagi segelintir korporasi dan asing.
Padahal, dalam pandangan Islam, tambang bukan sekadar komoditas ekonomi. Ia adalah milik umum (milkiyyah 'ammah) yang seharusnya dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir pihak. Rasulullah bersabda:
"Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api."
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadis ini menjadi dasar bahwa tambang --- sebagai salah satu sumber energi dan kehidupan --- tidak boleh dimiliki individu atau perusahaan.
Islam dan Amanah Pengelolaan Tambang
Dalam sistem Islam, sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk dalam kategori milik umum, sehingga tidak boleh diprivatisasi. Negara bertindak sebagai pengelola (wakil umat), bukan pemilik, dengan prinsip:
Keadilan dalam distribusi hasil. Manfaat tambang dikembalikan untuk kemaslahatan umat, membangun fasilitas publik, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.
Perlindungan terhadap alam. Islam memandang bumi sebagai amanah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi tanpa batas.
Larangan penyerahan kepada pihak asing. Pengelolaan tambang oleh korporasi luar atau swasta besar yang berorientasi laba bertentangan dengan prinsip syariah.
Negara wajib memastikan pengelolaan tambang dilakukan dengan penuh tanggung jawab, adil, dan transparan. Sebab tambang adalah amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.