Ia memohon ketika menyadari bahwa boneka besar itu masih berada di bawah pohon mangga saat matanya kembali terbuka. Ia bahkan baru menyadari bahwa boneka yang berada dalam pelukannya itu telah menghilang.
Nadin segera berdiri untuk meninggalkan tempat duduknya, akan tetapi langkahnya terhenti ketika kakinya menginjak sesuatu. Ia segera menunduk untuk memastikan, dan ternyata boneka beruang kesayangannya itu telah berada di bawah kakinya. Nadin pun mengambil boneka miliknya itu dan membersihkan bagian kepalanya yang tak sengaja terinjak.
Ketika Nadin sedang membersihkan bagian mata yang terjahit, tiba-tiba ia merasakan sebuah sentuhan di pundaknya. Nadin tidak menoleh sedikitpun, ia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya saat itu. Hanya sebuah lirikan yang dapat ia lakukan untuk memastikan siapakah yang berada di sisinya.
Oh Tuhan!
Nadin bergumam, ia tahu bahwa boneka beruang besar dari seberang jalan itulah yang kini berada di sampingnya. Keringat dingin menetes berulang kali dari pelipis Nadin. Nafasnya tersengal-sengal, tangannya seperti tak berfungsi, hingga boneka beruang kecil yang ia gendong terhempas kembali ke tanah.
Nadin segera berlari meninggalkan secangkir kopi miliknya dan juga dua boneka itu. Saat itulah suara-suara yang meminta bola matanya kembali terdengar. Rintihan dan suara tangisan terus memekakkan telinganya. Tanpa di sadari, telinganya mulai mengeluarkan darah.
Nadin semakin cemas. Ia terus berlari tanpa memperdulikan arah tujuannya. Tiba-tiba ia terhenti ketika menyadari bahwa ia bukan berlari ke dalam rumah, melainkan taman yang terletak di belakang rumahnya.
Nadin terisak, rambut panjangnya nampak awut-awutan. Berulang kali ia meremas lengannya sendiri, menahan ketakutan. Pijar lampu di sekitaran taman sangat redup, membuatnya semakin ketakutan. Tidak ada siapapun di sana, kecuali ia dan juga dua boneka beruang yang telah berada beberapa meter darinya.
"Berikan bola matamu!"
"Berikan bola matamu!"
"Congkel bola matamu!"