Mohon tunggu...
Anim Kafabih
Anim Kafabih Mohon Tunggu... Dosen - Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro

Tempat belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Ziswaf, Keputusan dalam Memilih dan Pembangunan Masyarakat

19 Juni 2021   06:40 Diperbarui: 19 Juni 2021   06:50 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.goodreads.com/book/show/23476909-children-s-book

Ad, Ma, dan P adalah sahabat saya saat masih kecil di era 90 an. Kami sering bermain bersama sejak saat tamiya mulai buming-bumingnya ataupun sekedar bermain kartu atau karambol dengan beberapa teman sebaya. Hal tidak terbayangkan terjadi padanya saat ayah Ad meninggal sehingga selepas SMA, Ad terpaksa bekerja untuk membatu mengebulkan dapur ibunya. Saat ini Ad bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Hal yang sama juga  terjadi pada M, adiknya, meskipun sempat berkuliah disamping juga berjualan untuk turut membantu keluarganya, namun hingga saat ini dia masih dalam proses mencari pekerjaan tetap. P, teman bermain bola saat kecil, saat ini bekerja sebagai satpam di sebuah perusahaan swasta.  N, adik tingkat saya sewaktu SD, saat ini sedang bekerja sebagai penjual es tebu keliling yang berjualan di sekitar jalan raya atau kampung, sedangkan W, adik tingkat saya juga, saat ini bekerja sebagai kernet dan serabutan untuk menghidupi kedua anak nya yang masih kecil. Nasib berbeda dialami beberapa teman saya lain seperti J yang seorang pegawai bank, dan juga T, yang merupakan distributor tebu utama di wilayah semarang.

Saat kami kecil, saat dimana usia kami belum masuk dalam kategori angkatan kerja, apa yang ada di benak kami hanya terbatas pada PR yang harus dikerjakan dan bermain bersama teman sebaya saat sore hari di sebuah lapangan bola ataupun permainan lainnya yang membutuhkan banyak anak. Kami sama sekali tak memikirkan pekerjaan apa yang akan kami dapatkan kelak, dimana kami bekerja, atau mengapa kami harus bekerja di sektor tersebut.

Secara alamiah ketika usia kami memasuki angkatan kerja, kami tersadar-atau mungkin pula disadarkan dengan keadaan- bahwa sudah selesai waktu bermainnya. Ada 2 pilihan yang harus kami ambil, yang pertama adalah melanjutkan hingga jalur pendidikan tinggi sehingga menunda untuk masuk dalam bursa calon tenaga kerja untuk beberapa waktu kedepan, atau pilihan kedua yaitu langsung bekerja selepas menamatkan wajib belajar 9 tahun, (atau bahkan 12 tahun). Pilihan-pilihan yang kami putuskan saat itu akan mempengaruhi keadaannya kami masa kini. Dan pilihan-pilihan kami tersebut akan terus ada pada berbagai fase kehidupan yang terus dijalani sehingga pada akhirnya, menurut hemat penulis,  turut berkontribusi pada peta ketimpangan pendapatan dan kemiskinan saat ini yang merupakan isu-isu krusial dalam pembangunan di sebuah masyarakat.

Faktor penentu pilihan  

Seseorang yang baru masuk usia angkatan kerja menurut BPS adalah mereka yang berusia minimal 15 tahun. Sedangkan jika nimimal masuk Sekolah Dasar (SD) adalah anak-anak yang berusia 6 tahun, maka usia 15 tahun setara dengan pendidikan kelas 3 SMP, atau saat awal-awal masuk kelas 1 SMA. Usia 15 tahun ini, bisa jadi, dimata pemerintah mereka sudah memasuki usia yang cukup untuk berani memutuskan pilihan-pilihan mereka  secara mandiri dan dengan penuh pertimbangan.

Setidaknya terdapat dua faktor utama yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang ketika memasuki usia kerja. Yang pertama adalah ekonomi. Bisa jadi di usia sangat muda, seperti contoh kasus Ad diatas, dengan ketiadaan kepala keluarga maka tekanan ekonomi mulai dirasakan keluarga yang bersangkutan. Untuk mencegah ekonomi keluarga semakin terpuruk akibat adanya perubahan yang terjadi, maka sang anak akan mengambil peran dengan memilih untuk mencari kerja daripada memilih sektor pendidikan yang return nya tak bisa cepat.

Yang kedua adalah lingkungan sekitar tempat dimana seseorang paling sering berinteraksi, lingkungan sekitar bisa jadi adalah role model dari seseorang dimana orang tersebut adalah panutannya. Bisa jadi orang tua, atau seorang tokoh yang bijaksana dimatanya, atau bisa juga preman dan orang yang tidak benar. Faktor lingkungan bija juga adalah publik figure, atau juga teman bermain di lingkungan sekitar yang membentuk karakteristik dasar seseorang, sehingga segala keputusan-keputusan yang diambilnya dipengaruhi oleh pola pergaulan ataupun pola interaksi yang terjadi di lingkungan sekitaran seseorang tersebut.

Contoh sangat sederhana, sangat mungkin terjadi jika seorang pemabuk adalah hasil dari interaksi lingkunagn sekitarnya, sehingga pilihan pekerjaan yang dipilihnya tak akan jauh-jauh dari apa yang dikerjakan orang-orang yang mempengaruhinya, karena mereka adalah social capital nya.

Pembangunan Masyarakat

Konsep pembangunan masyarakat tak akan lepas dari konsep dasar pembangunan. Amartya Sen menekankan bahwa kunci dari pembangunan masyarakat  terletak pada kapabilitas yang dimilikinya dimana Cambridge dictionary mengartikan kapabilitas sebagai kemampuan (ability) untuk melakukan sesuatu. Kemudian, menurut penjelasan Necati Aydin, Index Pembangunan Manusia (IPM) pun dibentuk dimana index tersebut terinspirasi dari ide 'kapabilitas' milik Amartya Sen. Dalam IPM, terdapat tiga indikator penting untuk mendeteksi terjadinya pembangunan, yaitu dimensi ekonomi (yang biasanya tergambarkan dengan PDB per kapita), kesehatan, dan tingkat pendidikan. Selanjutnya, Necati Aydin melengkapi dimensi-dimensi IPM tersebut dengan menambahkan beberapa aspek penting yang diambil dari nilai-nilai agama sehingga terbentuklah apa yang disebut dengan islamic Human Development Indes (iHDI).

Dalam konsep iHDI tersebut, indikator-indikator penting dalam pembangunan diantaranya adalah: (1) kesehatan fisik yang terdiri dari PDB dan tingkat kesehatan, (2) pemikiran, yang tergambarkan dari tingkat pendidikan, (3)spiritualitas, yang tergambarkan dari ketaatan pada perintah Tuhan, (4) etika, yang tergambarkan dari kemampuan penilaian batin atas suatu hal, (4) animal, yang menggambarkan kemampuan diri mengendalikan hawa nafsu, (5) sosial, yang tergambarkan dari hambatan-hambatan apa saja dalam proses bersosialisasi dengan masyarakat, (6) oppresive, yaitu tingkat bunuh diri yang terjadi, dan (7) kebebasan. Dengan memantau dan berupaya untuk terus meningkatkan aspek-aspek positif dari dimensi tersebut, seperti kesehatan fisik, pemikiran, spiritualitas, etika, dan kebebasan, disertai menekan aspek negatif dari beberapa aspek sisanya seperti sosial dan tingkat bunuh diri maka sudah cukup untuk mengatakan bahwa telah terjadi pembangunan yang signifikan di suatu daerah.

Pilihan dan pembangunan masyarakat

Seperti yang sudah dijelaskan sebelum-sebelumnya, pilihan seseorang akan mempengaruhi pembangunan masyarakat karena berkontribusi pada isu-isu penting pembangunan, yaitu tingkat ketimpangan dan kemiskinan. Beberapa indikator untuk menunjukkan terjadinya pembangunan pun sudah di bahas sebelumnya, yaitu iHDI. Penulis berpendapat bahwa dengan memperhatikan indikator-indiator pembangunan tersebut dan dengan adanya upaya untuk terus memperbaiki indeks iHDI, maka diharapkan berlahan akan mempengaruhi pilihan-pilihan seseorang sehingga akan turut berkontribusi pada penurunan secara signifikan kemiskinan dan ketimpangan yang menjadi isu krusial dalam pebangunan. 

Untuk dapat mendukung peningkatan iHDI dengan cara meningkatkan aspek-aspek positif di beberapa indikator didalamnya dan menekan aspek negatif yang ada, maka perlu satu langkah yang harus dimantapkan, yaitu, perombakan dan pengelolaan total Zakat Infak Sadakah, dan waqaf (ZISWAF). Setidakya, pengelolaan yang baik dan sangat terencana di sisi Zakat, Infak dan Sadaqah sebagai jaring pengaman sosial lapis kedua dari pengeloaan hasil pajak diharapkan dapat membantu orang-orang yang kesusahan dari segi keuangan, minimal untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan papannya, sehingga mereka dapat dialihkan fokusnya untuk meningkatkan aspek kesehatan fisik, menurunkan aspek sosial, termasuk juga menurunkan tingkat oppresive di suatu daerah.

Selanjutnya, pengelolaan wakaf sudah saatnya tak berfokus pada masjid dan kuburan. Sudah saatnya pengelolaan wakaf dialihkan pada aspek-aspek krusial seperti pendirian perusahaan, pendidikan dan kesehatan. Pendidikan disini bisa jadi pendidikan pesantren dengan mendirikan pondok pesantren, atau pendidikan formal yang tanpa biaya, atau dengan biaya sangat terjangkau. Dengan adanya pengelolaan wakaf yang strategis, maka diharapkan akan meningkatkan aspek pemikiran, spiritualitas, etika, animal, dan kebebasan.

Tentunya upaya ini tak bisa dibebankan semata pada pemerintah. Upaya pembangunan sudah selayaknya menjadi tanggung jawab bersama, meski tetap yang mengkoordinasi dan mengatur adalah pemerintah. Diharapkan, pembangunan yang berdimensi nilai-nilai agama tersebut akan dapat mempengaruhi pilihan-pilihan yang dibuat oleh mereka yang baru masuk angkatan kerja, dan pilihan-pilihan yang di buat setelahnya di berbagai fase kehidupan yang mereka jalani, sehingga kedepannya akan mampu megurangi secara signifikan tingkat ketimpangan dan kemiskinan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun