Langit pagi Kota Manado masih belum juga diterangi sang mentari ketika saya dan teman-teman harus sudah berkemas dan bersiap untuk check out, sesaat setelah nanti kita menikmati beragam menu sarapan pilihan di resto bintang 4 tempat menginap kami selama dua hari terakhir.Â
Pagi ini, sesuai dengan rundown aktifitas yang telah dibagikan, kita akan berlayar menuju ke Pulau Lihaga, salah satu "surga tersembunyi" bagian dari DSP Likupang yang terletak di lepas pantai Desa Serai, Kecamatan Likupang Barat yang berjarak tempuh sekitar 50-an km dari Kota Manado yang bisa ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dengan bus.
Baca Juga Yuk! Perjalanan Banjarmasin-Manado, Serunya Menapaktilasi Bentang "Lebar Nusantara"
Sedikit berbeda dengan perjalanan trip dadakan kami ke Tomohon sebelumnya yang didampingi oleh driver tapi serasa guide profesional yang keseruannya bisa dibaca pada artikel Cerita Pohon Seho, Bakar Nyala dan Gendutnya Cucur Tu ur Ma'asering di Tomohon, maka dalam perjalanan Manado - Likupang Barat ini kita memang didampingi guide profesional yang memberi kami banyak sekali informasi pariwisata dan juga tradisi budaya khas Sulawesi Utara.
Diantara sekian banyak tradisi dan budaya unik Sulawesi Utara yang akhirnya sama-sama kita bongkar saat itu, setidaknya ada dua atau tiga hal unik yang memberi perspektif baru pada pemahaman saya terkait keterkaitan budaya antar entitas budaya di berbagai wilayah nusantara yang ternyata memang ada, yaitu istilah kawanua (khususnya istilah "wanua"-nya) dan Pisang Manuru. Tahu kenapa? Â
Kedua istilah itu mirip dan cukup identik dengan dua istilah dalam Bahasa Banjar, bahasa ibu keluarga kami di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! Wanua dengan banua yang berarti kampung, desa atau daerah dan Pisang Manuru dengan Pisang Menurun yang ternyata sama-sama merujuk pada obyek yang sama, yaitu pisang kepok.
Setibanya di pelabuhan Desa Serai, mungkin karena bukan weekend ataupun tidak di hari libur sepertinya rombongan kami menjadi satu-satunya rombongan yang pagi ini akan menyeberang ke Pulau Lihaga, karena memang tidak ada nampak rombongan wisatawan lain yang berada di dermaga sepagi itu. Situasi ini konon sangat kontras, jika kita healing ke Pulau Lihaga di akhir pekan atau pada hari libur lainnya.   Â
Di bagian belakang dermaga tradisional yang lebih mirip rumah tinggal pribadi ini, telah tambat beberapa perahu kayu bermesin  dengan corak warna yang cerah dan ngejreng yang salah satu diantaranya akan mengantar kita menuju Pulau Lihaga. Uniknya, tidak terlalu jauh dari situ, nampak juga 2 kapal patroli milik BAKAMLA alias Badan Keamanan Laut yang juga tambat di dermaga.Â
Melihat kapal-kapal yang beberapa tahun silam pernah saya akrabi dalam  perjalanan berburu "momentum" Gerhana Matahari Total 2016 di perairan Bangka Belitung bersama tim dari Kemenpar dan BAKAMLA, tentu saja mengingatkan saya pada romansa petualangan tidak biasa bersamanya di bumi Laskar Pelangi yang keseruannya pernah saya tuliskan dalam artikel Pengalaman Seru Menyaksikan Detik-detik Gerhana Matahari Total dari Tengah Laut Perairan Belitung.