Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis beberapa waktu lalu mengungkap fakta miris tentang regenerasi petani di Provinsi Jawa Tengah. Betapa tidak, rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di provinsi ini mencapai 52 tahun. Namun, generasi muda yang tertarik untuk melanjutkan usaha tani keluarganya hanya sekitar tiga persen (Antara, 20 September 2017).
Tidak membikin heran kalau ada yang bilang petani kita bakal punah. Proposisi bahwa petani kita bakal punah mungkin terkesan melebih-lebihkan. Benarkah demikian?
Faktanya, saat ini kultur bertani kian tergerus. Anak petani sebagian besar tak lagi bercita-cita menjadi petani.
Menjadi petani adalah pilihan terakhir bagi generasi muda pedesaan untuk menyambung hidup. Seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) pernah berucap dalam sebuah workshop bahwa anak muda di kawasan Puncak lebih bangga menjadi tukang ojek atau penjaga villa ketimbang menjadi petani sayuran.
Salah satu penyebabnya adalah menjadi petani identik dengan kemiskinan dan ndeso. Sesuatu yang tentu saja sama sekali tidak menarik bagi generasi milenial.
Makanya, seperti yang dikeluhkan presiden Jokowi saat menghadiri acara wisuda di kampus IPB pada September lalu, saat ini banyak sarjana pertanian (termasukan jebolan IPB) yang ogah menjadi petani atau berkecimpung di sektor pertanian. Pendek kata sektor pertanian kian ditinggalkan.
Alhasil, mereka yang bertahan di sektor pertanian saat ini adalah mayoritas generasi tua (di atas 45 tahun).
Sebuah tantangan berat bagi penyediaan pangan dari produksi sendiri di masa datang, yang tentu saja membutuhkan inovasi dan modernisasi sektor pertanian.
Karena itu, kita patut khawatir, dan pemerintah harus berbuat sesuatu untuk mencegah agar tren ini tidak terus berlanjut. Mungkin petani kita tidak akan sampai punah, tapi tren yang tengah terjadi sangat merisaukan.