Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money

Data BPS: Jumlah Penduduk “Miskin” yang Hampir Miskin Terus Bertambah

18 September 2011   07:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 5390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Dalam rapat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (15/9), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan menyampaikan fakta menarik terkait perkembangan angka kemiskinan Indonesia, yakni bertambahnya jumlah penduduk hampir miskin sebanyak 5 juta jiwa pada tahun 2011.

Pertambahan sebesar 5 juta jiwa ini berasal dari 1 juta penduduk miskin yang naik status menjadi hampir miskin dan 4 juta penduduk tidak miskin yang turun status menjadi hampir miskin.

BPS mencatat, selama tiga tahun terkahir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada tahun 2009, jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sikitar 8,99 persen dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia. Dan tahun ini, jumlah penduduk hampir miskin telah mencapai 27,12 juta jiwa atau sekitar 10,28 persen dari total populasi.

Siapakah penduduk hampir miskin?

Menurut konsep BPS, penduduk hampir miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per bulan sedikit di atas garis kemiskinan (GK). Kata “hampir” secara kuantitatif menunjukkan bahwa pengeluaran mereka berbeda tipis dengan penduduk miskin dan tidak signifikan dalam membedakan tingkat kesejahteraan mereka dengan penduduk miskin. Sehari-hari, kondisi kesejahteraan mereka dibanding penduduk miskin mungkin tidak jauh berbeda, bahkan sama. Di luar konsep BPS, orang akan mengatakan mereka “miskin”.

Untuk lebih jelasnya berikut adalah ilustrasi penduduk hampir miskin berdasarkan kondisi pada Maret 2011 []

Berdasarkan peraga di atas, terlihat jelas selisih pengeluaran penduduk hampir miskin dengan GK tidak lebih dari 20 persen. Dengan kata lain, nilai pengeluaran mereka berada pada selang 1 GK-1,2 GK, atau kalau dirupiahkan antara Rp 233.470 - Rp 280.488 per bulan.

Nilai pengeluaran yang tidak berbeda jauh dengan GK ini menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin jika terjadi guncangan ekonomi. Karenanya, mereka juga harus menjadi target dari program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah, selain penduduk miskin.

Pemberitaan Kompas perlu dikoreksi

Ketika membaca tulisan di Koran Kompas (15/9) yang bertajuk “Jangan Politisasi Dana Kemiskinan” saya menemukan beberapa hal yang penting untuk ditanggapi, bahkan dikoreksi. Dalam tulisan tersebut, penulis menggunakan data-data BPS secara keliru. Kekeliruannya mungkin tidak fatal, tetapi sangat mengganggu buat saya yang sehari-hari bekerja sebagai statistisi di BPS.

Kekeliruan yang saya maksud adalah penggunaan kata “penghasilan”ketika menjelaskan siapa penduduk miskin. Dalam tulisan tersebut, dinyatakan bahwa mereka yang miskin adalah yang berada di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan di bawah Rp 231.000 per bulan.

Ini jelas merupakan kekeliruan karena pendekatan yang digunakan BPS ketika mendefenisikan penduduk miskin adalah pengeluaran per kapita per bulan bukan penghasilan per kapita per bulan.

Pengeluaran dan penghasilan tentu dua hal yang berbeda, apalagi jika dikaikan dengan konsep keluarga. Penghasilan biasanya dihasilkan oleh satu kepala keluarga, tetapi dikeluarkan kepada seluruh anggota keluarganya. Dengan demikian, jika satu keluarga beranggotakan empat orang, maka keluarga yang dianggap miskin adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah Rp. 934.960/keluarga per bulan atau setara dengan Rp 31.165/keluarga/hari. Dan keluarga hampir miskin adalah keluarga dengan penghasilan di atas Rp 1.121.952 /keluarga/bulan atau setara dengan Rp 37.398/keluarga/hari.

Pengeluaran sebesar Rp 940.960 atau Rp 1.121.952 per bulan tentu bisa dibiayai dari penghasilan seorang kepala keluarga dan atau anggota keluarga lainnya. Jika dilihat lebih jauh, nilai pengeluaran sebesar ini akan sesuai dengan rata-rata batas upah minimum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) beberapa provinsi di Indonesia. Dan suatu keluarga dengan kepala keluarga seorang pengemis dapat dipastikan bakal sulit memiliki penghasilan di atas Rp. 934.960 per bulan, apalagi di atas Rp 1.121.952 per bulan.

Kerenanya, langkah yang diambil oleh pemerintah Cirebon dengan menetapkan garis kemiskinan adalah penghasilan Rp 800.000 per kapita per bulan (sesuai UMR)−sebagaimana juga dimuat dalam tulisan tersebut− sehingga diperoleh angka kemiskinan sebesar 21,04 persen akan sedikit aneh jika dikaitkan dengan konsep keluarga di atas. Karena dengan garis kemiskinan sebesar ini, sebuah keluarga beranggotakan empat anggota harus memiliki penghasilan di atas Rp 3,2 juta agar tidak dianggap miskin.

Kekeliruan lain adalah batas kemiskinan yang digunakan BPS pada tahun 2011 bukan Rp 231.000 per bulan, tetapi Rp 233.740 per bulan (Berita Resmi Statistik, Agustus). Bagi sebagian orang, selisih antara Rp 231.000 dengan Rp 233.740 mungkin tidak seberapa. Tetapi, bagi mereka yang paham seluk beluk penghitungan kemiskinan tentu akan sedikit terganggu. Karena dua batas kemiskinan yang bebeda ini akan menghasilkan angka kemiskinan yang berbeda.

Dengan batas kemiskinan Rp 231.000 dapat dipastikan jumlah penduduk miskin saat ini akan lebih kecil dari angka resmi yang diumumkan oleh BPS, yakni 30,02 juta jiwa−selisihnya bisa puluhan ribu jiwa. Perlu diketahui bahwa perubahan angka kemiskinan sangat sensitive terhadap perubahan batas atau garis kemiskinan yang digunakan. Karena metode yang digunakan ketika menetukan siapa penduduk miskin adalah cut of point sebagaimana pada ilustrasi di atas. Dan inilah kelemahan dari pengukuran kemiskinan dengan menggunakan garis atau batas kemiskinan absolute. Bukan hanya di Indonesia, di negara mana pun juga seperti ini.

Kekeliruan seperti ini memang kerap kali terjadi di berbagai media, bukan hanya koran Kompas, ketika memberitakan data-data kemiskinan BPS. Karenanya, agar tidak terus terulang, dibutuhkan kecermatan dan pemahaman terhadap konsep dan defenisi yang digunakan BPS ketika menghitung angka-angka kemiskinan sehingga interpreatsi keliru terhadap data kemiskinan BPS tidak terjadi.

*****

Sumber tulisan koran Kompas, data-data dari BPS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun