Mohon tunggu...
Abdulkadir Jailani
Abdulkadir Jailani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

An Indonesian foreign service officer adoring philosophy, international politics, law, humanities and history

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Signfikansi dan Kendala Ratifikasi Statuta Roma

16 Juni 2014   18:10 Diperbarui: 4 April 2017   17:28 3542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Banyak kalangan menilai bahwa proses keikutsertaan (ratifikasi) Indonesia ke Statuta Roma (yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional) berjalan sangat lambat. Meskipun saat ini terdapat 119 negara yang telah menjadi Negara Pihak pada Statuta Roma, proses ratifikasi oleh Indonesia masih belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang direncanakan Pemerintah. Untuk itu, Penulis memandang perlu untuk menyampaikan beberapa sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat mendorong proses ratifikasi tersebut. Sejalan dengan maksud tersebut, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan secara ringkas manfaat dan urgensi ratifikasi Statuta Roma. Selanjutnya, tulisan ini juga akan  secara khusus menganalisa beberapa mispersepsi (kesalahpahaman) yang selama ini menurut Penulis telah menghambat dan menjadi kendala proses ratifikasi di Indonesia.  Kemudian di bagian akhir, selain memberikan beberapa kesimpulan, tulisan ini juga akan menyampaikan beberapa saran yang dapat dipertimbangkan oleh Pemerintah guna mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma.

MANFAAT RATIFIKASI STATUTA ROMA

Keterikatan Indonesia dengan Statuta Roma tidak hanya sekedar membebankan kewajiban – kewajiban hukum terhadap Indonesia, melainkan juga akan memberikan banyak manfaat bagi kepentingan nasional. Pertama, keikutsertaan Indonesia tersebut dapat menunjang pelaksanaan politik luar negeri, khususnya dalam rangka mewujudkan keamanan dan ketertiban dunia. Kedua, langkah ratifikasi tersebut dapat memperkuat tekad Indonesia untuk mencegah terjadinya impunitas. Ketiga, di mata dunia internasional, citra Indonesia dalam perlindungan HAM juga akan meningkat. Keempat, ratifikasi Statuta Roma pada gilirannya juga akan mendorong pengembangan hukum nasional, khususnya di bidang HAM dan hukum pidana.

Keikutsertaan Indonesia pada Statuta Roma sampai tingkat tertentu dapat menunjang pelaksanaan politik luar negeri, khususnya untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dunia sebagaimana telah diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.  Tujuan pembentukan International Criminal Court melalui Statuta Roma pada pokoknya mengabungkan tujuan nilai-nilai kemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan. Paragraf Ketiga Pembukaan Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ancaman terhadap perdamaian, keamanan dan kehidupan masyarakat dunia. Penghapusan impunitas terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan dan pencapaian nilai – nilai keadilan melalui pembentukan ICC merupakan kontribusi penting bagi upaya bersama masyarakat internasional, termasuk Indonesia, untuk mewujudkan perdamaian internasional.

Langkah ratifikasi Indonesia terhadap Statuta Roma juga akan memperkuat dan terus mendorong  upaya penghapusan impunitas di tingkat nasional. Sebagaimana telah diketahui, sejak era reformasi, Indonesia telah memiliki komitmen yang cukup kuat untuk menghentikan dan menghapuskan segala bentuk impunitas terhadap pelanggaran HAM. Komitmen tersebut merupakan salah satu elemen penting dalam upaya mewujudkan Indonesia baru. Dengan demikian, keikutsertaan Indonesia ke Statuta Roma tersebut bukan merupakan kebijakan luar negeri yang diambil karena tekanan masyarakat internasional. Justru sebaliknya, keikutsertaan Indonesia tersebut merupakan perwujudan kongkrit kepentingan nasional, yaitu menghapuskan segala bentuk impunitas.

Dengan semakin kuatnya komitmen untuk menghapuskan impunitas, citra Indonesia dalam perlindungan HAM di mata dunia internasional juga akan meningkat. Langkah ini akan menempatkan Indonesia ke dalam kelompok bangsa – bangsa di dunia yang  berkeinginan membentuk suatu international justice system yang adil dan berwibawa. Peningkatan citra ini sampai tingkat tertentu pada akhirnya juga dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya Pemerintah Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri.

Pengaruh positif lainnya yang dapat ditimbulkan oleh keikutsertaan Indonesia pada Statuta Roma adalah munculnya dorongan untuk memperbaiki dan mengembangkan hukum nasional, khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana dan HAM. Sebagai konsekuensi pengikatan diri Indonesia terhadap Statuta Roma, Indonesia di tingkat nasional harus mengambil langkah – langkah legislasi untuk menjamin implementasi Statuta Roma dapat dilaksanakan secara efektif. Langkah – langkah legislasi tersebut antara lain adalah melakukan kriminalisasi terhadap semua kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Internasional.

URGENSI RATIFIKASI STATUTA ROMA

Dengan memperhatikan manfaat ratifikasi Statuta Roma tersebut di atas  dan mengingat kuatnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk menjadi pihak pada Statuta Roma, Penulis melihat adanya urgensi bagi Pemerintah untuk segera mengambil langkah – langkah nyata guna segera mewujudkannya. Namun,  meskipun komitmen Pemerintah tersebut telah dinyatakan sejak tahun 2004, sampai saat ini langkah – langkah nyata untuk mewujudkannya masih belum jelas. Kini masyarakat internasional juga memberi perhatian khusus terhadap langkah – langkah yang akan diambil Pemerintah untuk merealisasikan komitmennya tersebut.

Dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranhamnas) 2004 – 2009 (Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2004), Pemerintah telah mencanangkan untuk meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Akan tetapi, sampai Ranhamnas tersebut lewat waktu tidak ada langkah – langkah kongkrit yang diambil Pemerintah untuk merealisasikan rencana tersebut.  Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu semakin berkembangnya wacana yang mendorong Pemerintah untuk menunda rencana tersebut. Meskipun demikian, Pemerintah dalam Ranhamnas 2011 – 2014 (Peraturan Presiden 23 tahun 2011) menegaskan kembali komitmen tersebut. Menurut rencana, Statuta Roma diharapkan telah diratifikasi pada tahun 2013.

Pelaksanaan komitmen Pemerintah tersebut mendapat perhatian khusus oleh masyarakat internasional.  Bahkan Uni Eropa menjadikan persoalan ratifikasi terhadap Statuta Roma sebagai salah elemen penting dalam kerja sama bilateralnya dengan Indonesia. The Comprehensive Indonesia-EUPartnership and Co-operation Agreement2009 secara spesifik menyebutkan bahwa Indonesia dan Uni Eropa akan bekerja sama dalam pelaksanaan Ranhamnas, khususnya yang berkaitan dengan ratifikasi Statuta Roma. Selain itu, Presiden ataupun Penuntut Umum Mahkamah Internasional dalam berbagai kesempatan berulangkali menghimbau agar Pemerintah Indonesia dapat segera merealisasikan rencana ratifikasi Statuta Roma.

Dengan demikian, rencana ratifikasi Statuta Roma merupakan suatu langkah yang cukup urgen untuk segera direalisasikan sesuai Ranhamnas 2011 – 2014. Penundaan kembali rencana tersebut dikhawatirkan hanya akan menciptakan dampak negatif terhadap citra  Bangsa dan Negara Indonesia di masyarakat internasional.

KENDALA RATIFIKASI STATUTA ROMA

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, menyusul dikeluarkannya Ranhamnas 2004 – 2009, di Indonesia berkembang wacana atau pandangan yang mendorong Pemerintah untuk terus menunda realisasi rencana ratifikasi Statuta Roma sesuai rencana. Wacana atau pandangan yang terus berkembang tersebut telah menjadi kendala utama bagi Pemerintah untuk merealisasikan rencananya.

Wacana tersebut pada dasarnya muncul akibat adanya mispersepsi (kesalahpahaman) atau kekhawatiran yang berlebihan terhadap keberadaan Mahkamah Pidana Internasional. Kesalahpahaman pertama adalah adanya kekhawatiran bahwa Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili kasus – kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kedua, Proses penerapan Prinsip Komplementaritas (Complementarity Principle) yang menentukan kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dianggap dilakukan melalui proses politik. Ketiga, dominasi kewenangan Dewan Keamanan PBB dalam Mahkamah Pidana Internasional dipandang akan menyulitkan posisi Indonesia apabila meratifikasi Statuta Roma. Keempat, ratifikasi Statuta Roma dapat memberikan dampak negatif terhadap hubungan bilateral RI – Amerika Serikat yang akhir – akhir ini sudah semakin baik. Kelima, Indonesia sebaiknya meratifikasi Statuta Roma menunggu setelah semua hukum nasional siap untuk melaksanakannya di dalam negeri. Keenam, yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap kejahatan agresi akan menyulitkan Indonesia apabila meratifikasi Statuta Roma.

PRINSIP NON-RETROAKTIF

Pandangan yang menyatakan bahwa Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia di masa lalu merupakan suatu kekhawatiran yang berlebihan. Seharusnya hal tersebut sama sekali tidak mempengharuhi realisasi rencana Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma.

Prinsip legalitas (prinsip non – retroactive) merupakan salah satu prinsip utama dalam Mahkamah Pidana Internasional. Pasal 24 Statuta Roma menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dihukum berdasarkan Statuta Roma atas tindakannya yang dilakukan sebelum berlakunya Statuta Roma. Mengingat Statuta Roma berlaku sejak 1 Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat mengadili pelanggaran HAM yang terjadi setelah tanggal tersebut.

Keikutsertaan Indonesia pada Statuta Roma tidak akan pernah memberikan kewenangan kepada Mahkamah Mahkamah Pidana Internasional untuk mengadili pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi sebelum 1 Juli 2002. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa ratifikasi Statuta Roma dapat mengakibatkan kasus pelanggaran HAM di Timtim tahun 1999, Tanjung Priok atau Tragedi 1965 diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional tidak beralasan.

Memang tidak dapat diingkari bahwa pada tahun 2000 - 2002 telah berkembang wacana untuk membawa kasus pelanggaran HAM di Timtim ke suatu international tribunal. Namun pemikiran tersebut sama sekali tidak mengarah kepada upaya untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini terjadi karena membawa kasus Timtim ke Mahkamah Pidana Internasional secara legal formal tidak mungkin dilakukan. Wacana yang berkembang saat itu adalah upaya negara – negara maju untuk meminta Dewan Keamanan PBB membentuk suatu pengadilan internasional ad – hoc (seperti kasus Yugoslavia dan Rwanda) atau membentuk suatu pengadilan campuran di Timor Leste (seperti kasus Sierra Leone dan Kamboja). Kemungkinan Dewan Keamanan untuk melakukan internasionalisasi penanganan kasus pelanggaran HAM di Timtim sama sekali tidak berkaitan dengan ratifikasi Indonesia terhadap Statuta Roma. Fakta bahwa Indonesia menjadi pihak atau tidak pada Statuta Roma bukan merupakan faktor yang relevan bagi Dewan Keamanan untuk mengambil keputusan mengenai masalah ini. Oleh karenanya, hal ini seyogyanya tidak menjadi penghalang bagi Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan rencananya sesuai Ranhamnas.

PRINSIP KOMPLEMENTARITAS

Berdasarkan Prinsip Komplementaritas, Mahkamah Pidana Internasional akan menerapkan yurisdiksinya apabila pengadilan nasional “tidak mau” (unwilling) atau “tidak mampu” (unable) untuk mengadili suatu kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, atau kejahatan agresi. Penentuan apakah pengadilan nasional unable atau unwilling tidak ditentukan secara serta merta dan ditetapkan melalui mekanisme politik atau pandangan sepihak suatu negaras. Sebaliknya, proses tersebut sepenuhnya ditentukan oleh Hakim Mahkamah Pidana Internasional melalui suatu proses hukum yang terbuka terbuka dimana terdakwa atau negara memiliki hak untuk menolak atau melakukan perlawanan. Fakta ini menunjukkan bahwa anggapan bahwa penerapan Prinsip Komplementaritas ditentukan melalui proses politik tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada.

Untuk menentukan apakah pengadilan nasional suatu negara “tidak mau” (unwilling) untuk mengadili suatu kasus, Mahkamah Pidana Internasional menggunakan kriteria yang telah ditetapkan oleh Pasal 17 Statuta Roma. Dalam Pasal tersebut ditegaskan bahwa Mahkamah Pidana Internasional akan mempertimbangan principle of due process (prinsip proses peradilan yang fair, terbuka dan jujur) sebagaimana diakui oleh hukum internasional. Untuk itu Mahkamah akan melihat adanya beberapa situasi, yaitu:

a.         Proses pengadilan nasional dilakukan untuk tujuan melindungi seseorang dari pertanggungjawaban pidana;

b.         Penundaan proses pengadilan nasional yang tidak sewajarnya sehingga tidak sesuai dengan maksud untuk mengadili pelaku kejahatan;

c.         Proses pengadilan tidak dilakukan secara independen dan imparsial atau cara – cara lain yang tidak sesuai dengan maksud untuk mengadili seoran pelaku kejahatan.

Untuk menentukan apakah  pengadilan nasional tidak mampu (unable) mengadili suatu kasus juga menggunakan kriteria yang telah ditetapkan dalam Pasal yang sama. Mahkamah Pidana Internasional akan mempertimbangkan apakah suatu negara tidak dapat menyelenggarakan proses pengadilan yang memadai karena sistem peradilan nasional di negara tersebut telah tidak berfungsi sama sekali (total or substantial collapse or unavailability of national judicial system).

Dengan memperhatikan fakta – fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran bahwa penerapan Prinsip Komplementaritas lebih banyak ditentukan melalui suatu proses politik merupakan suatu kekhawatiran yang berlebihan. Proses penerapan Prinsip tersebut dilakukan oleh Hakim dalam suatu proses hukum yang terbuka dan setiap orang atau negara yang terkait dapat melakukan perlawanan terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.

KEWENANGAN DEWAN KEAMANAN PBB

Statuta Roma memang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Dewan Keamanan PBB memiliki peran dan kewenangan yang sangat besar. Kewenangan tersebut pada dasarnya bersumber pada kewenangan Dewan Keamanan untuk mengambil segala tindakan yang dipandang perlu untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional sesuai Bab VII Piagam PBB. Namun demikian, fakta hukum tersebut tidak serta merta membenarkan kekhawatiran bahwa kewenangan tersebut akan lebih menyulitkan posisi Indonesia di masa mendatang apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma.

Pasal 13 Statuta Roma menyatakan bahwa Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili suatu kasus apabila kasus tersebut diserahkan oleh Dewan Keamanan yang telah bertindak sesuai Bab VII Piagam PBB. Mengingat keputusan penyerahan kasus tersebut diambil berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan dapat menyerahkan kasus – kasus yang terjadi di wilayah semua negara anggota PBB meskipun negara tersebut belum meratifikasi Statuta Roma. Salah satu contoh kasus ini adalah keputusan Dewan Kamanan untuk menyerahkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Sudan dan Libya. Dewan Keamananan berdasarkan kewenangannya menurut Bab VII Piagam PBB dan Pasal 13 Statuta Roma dapat melakukan hal itu, meskipun Sudan dan Libya belum meratifikasi Statuta Roma.

Fakta – fakta tersebut menunjukkan bahwa, meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, status suatu negara (sudah meratifikasi atau belum) terhadap Statuta Roma tidak mempengaruhi atau mengurangi kewenangan yang dimiliki Dewan Keamanan. Dewan Keamanan berdasarkan Piagam PBB tetap dapat menyerahkan suatu kasus pelanggaran HAM di Indonesia, meskipun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma. Dengan demikian, pada dasarnya kekhawatiran Indonesia tentang kewenangan Dewan Keamanan tidak memiliki korelasi langsung dengan ratifikasi Indonesia ke Statuta Roma. Kekhawatiran tersebut seyogyanya bukan merupakan faktor yang relevan untuk dipertimbangkan dalam proses ratifikasi Statuta Roma.

HUBUNGAN BILATERAL DENGAN AMERIKA SERIKAT

Kekhawatiran tentang kemungkinan dampak ratifikasi Statuta Roma terhadap hubungan bilateral juga tidak beralasan. Berbeda dengan kebijakan Pemerintahan Presiden George Bush,  kebijakan Pemerintah Presiden Obama lebih positif terhadap Statuta Roma. Dalam Pemerintahan George Bush, Amerika Serikat akan memberikan “sanksi bilateral” terhadap negara yang meratifikasi Statuta Roma tapi menolak menandatangani Non-Surrender Agreement dengan Amerika Serikat (Non-Surreder Agreement adalah perjanjian bilateral dimana suatu negara berjanji tidak akan menyerahkan warga negara Amerika Serikat ke Mahkamah Pidana Internasional). Kini Pemerintah Presiden Obama tidak melanjutkan kebijakan tersebut.

Perubahan kebijakan Pemerintahan Presiden Obama yang lebih positif terhadap Mahkamah Pidana Internasional juga dapat dianggap sebagai salah satu faktor pendukung bagi Indonesia untuk merealisasi rencananya untuk meratifikasi Statuta Roma. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa langkah ratifikasi oleh Indonesia akan mempengaruhi hubungan bilateral RI – Amerika Serikat tidak mencerminkan fakta sebenarnya.

KESIAPAN HUKUM NASIONAL

Alasan lain yang sering dikemukakan untuk menunda ratifikasi Statuta Roma adalah kesiapan hukum nasional untuk implementasi ketentuan – ketentuan Statuta Roma. Implementasi di tingkat nasional memang merupakan isu krusial, tapi kenyataan menunjukkan bahwa ketidaksiapan hukum nasional bukan merupakan alasan bagi Indonesia untuk menunda ratifikasi Statuta Roma. Pandangan tersebut didasarkan pada pertimbangan – pertimbangan sebagai berikut:

a.      Saat ini terdapat sekitar 40 % negara yang telah meratifikasi Statuta Roma (termasuk negara –negara maju) yang belum  memiliki legislasi nasional sebagai implementasi Statuta Roma.

b.      Pada dasarnya saat ini ini Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang partially implement (telah melaksanakan sebagian) ketentuan – ketentuan Statuta Roma. Sebagaimana diketahui, Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 telah melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan kemanusian dan genosida.

c.      Meskipun saat ini Indonesia belum melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan perang (war crimes), hal ini kiranya tidak menjadi penghalang untuk melakukan ratifikasi.  Sebagaimana diketahui Pasal 124 Statuta Roma memberi peluang kepada setiap negara untuk menunda berlakunya ketentuan tentang kejahatan perang selama 7 tahun setelah negara tersebut meratifikasi. Kiranya ketentuan ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia ketika meratifikasi pada Statuta Roma.

Belum sempurnanya hukum nasional dalam implementasi Statuta Roma bukan merupakan penghalang bagi Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma. Ratifikasi Statuta Roma tidak perlu menunggu sempurnanya hukum nasional. Justru sebaiknya langkah ratifikasi Statuta Roma dapat digunakan sebagai faktor pendorong untuk mengembangkan dan menyempurnakan legislasi nasional yang berkaitan dengan Statuta Roma.

KEJAHATAN AGRESI

Sebagaimana diketahui bahwa, walaupun Statuta Roma sejak awal telah memasukkan kejahatan agresi sebagai salah satu kejahatan yang dapat diadili, Mahkamah Pidana Internasional menerapkan yurisdiksi atas kejahatan agresi dan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar Mahkamah Pidana Internasional dapat menangani kasus kejahatan tersebut. Dalam pertemuan Kampala Review Conference pada tahun 2010, Negara Pihak berhasil menyepakati perubahan (amendment) Statuta Roma dengan memasukkan definisi kejahatan agresi dan kondisi – kondisi yang harus dipenuhi untuk menerapkan yurisdiksi Mahkamah Pidana internasional atas kejahatan tersebut. Sesuai hasil Kampala Review Conference, Mahkamah Pidana Internasional akan dapat mengadili kejahatan agresi  1 tahun setelah 30 negara menerima yurisdiksi atas kejahatan agresi atau setelah Negara Pihak pada Statuta Roma membuat keputusan politik pada tahun 2017.

Banyak negara berkembang kurang menyukai definisi kejahatan agresi yang disepakati oleh Kampala Review Conference, karena rumusannya merupakan hasil kompromi dengan kepentingan negara – negara maju. Sebagaimana diketahui, dalam proses perundingan mengenai kejahatan agresi negara – negara berkembang mendesak agar definisi kejahatan agresi sepenuhnya merujuk definisi agresi yang telah ditetapkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 3314. Pada awalnya, usulan tersebut ditolak oleh negara – negara maju. Namun demikian, sebagai jalan tengah Review Conference menyepakati menggunakan Resolusi 3314 sebagai rujukan, namun definisi tersebut harus memuat threshold, yaitu kriteria tertentu yang menetapkan hanya kejahatan agresi tertentu yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan agresi yang dapat diadili hanyalah kejahatan agresi yang menurut skala dan derajatnya merupakan pelanggaran nyata terhadap Piagam PBB. Dengan demikian tidak semua kejahatan agresi dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional. Negara – negara berkembang mengkhawatirkan penggunaan threshold tersebut membuka kemungkinan politisasi penanganan kejahatan agresi oleh Mahkamah Pidana Internasional.

Memang patut diakui bahwa kesepakatan Kampala Review Conference dapat menimbulkan dampak politis dan hukum yang cukup rumit. Persoalan yang mungkin timbul adalah persoalan implementasi di tingkat nasional, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan konstitusional mengenai perang dan pengaruhnya terhadap doktrin pertahanan nasional.

Hasil Review Conference tersebut merupakan suatu solusi kompromi, sehingga masih banyak negara berkembang yang tidak puas dengan hasil pertemuan tersebut, khususnya yang terkait dengan kejahatan agresi. Meskipun demikian, hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena kesepakatan Kampala Review Conference masih memberi kesempatan kepada setiap negara untuk menerima atau menolak (opt in or opt out mechanism) yurisdiki Mahkamah Pidana Internasional terhadap kejahatan agresi. Apabila bagi Indonesia menerima yurisdiki Mahkamah Pidana Internasional atas kejahatan agresi akan menimbulkan persoalan politik dan hukum, Indonesia, ketika meratifikasi Statuta Roma, dapat memilih opt-out mechanism, yaitu tidak menerima yurisdiksi Mahkamah Pidana terhadap kejahatan tersebut.

Namun demikian, satu hal yang perlu dicatat keputusan tersebut dapat menimbulkan ramifikasi politik yang cukup luas dan perlu dipertimbangkan secara mendalam. Penolakan Indonesia terhadap kejahatan agresi dapat saja ditafsirkan oleh negara – negara tetangga bahwa strategi dan doktrin pertahanan Indonesia masih mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya tindak agresi apabila dipandang perlu. Walaupun demikian, situasi ini seyoganya tidak dipandang sebagai “halangan” melainkan merupakan suatu tantangan yang perlu dipertimbangkan secara seksama.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah – langkah nyata guna mewujudkan rencana ratifikasi Statuta Roma pada tahun 2013. Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah menyelesaikan semua persoalan kesalahpahaman (mispersepsi) atau kekhawatiran yang ada para pemangku kepentingan mengenai konsekuensi keikutsertaan Indonesia di Statuta Roma. Dalam kaitan ini, Pemerintah perlu mengambil langkah – langkah sistematis guna meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan mengenai Statuta Roma. Pemerintah dalam hal ini dapat memanfaatkan kalangan masyarakat madani serta perguruan tinggi.  Tujuan utama langkah ini adalah menciptakan pemahaman tentang Statuta Roma yang lebih memadai sehingga semua kesalahpahaman dan kekhawatiran dapat diatasi. Tercapainya tujuan langkah ini diharapkan dapat memperkuat political commitment untuk meratifikasi Statuta Roma tepat waktu sebagaimana telah direncanakan dalam Peraturan Presiden Nomor 23 tahun 2011 tentang Ranhamnas 2011 – 2014.


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun